Aku ingin menggapainya lagi, Tuhan.
_hyzedn
*
*.*"Daff, nggak nyangka, ya, Zaya udah ninggalin kita sejak setahun lalu. Kok kita bisa sampai detik ini tanpa dia, sih?" gumam Hizam yang tengah duduk di kursi teras rumah Daffa.
Remaja laki-laki itu menarik napas dalam-dalam, "iya, Kak. Padahal dulu aku nggak kepikiran buat bisa berdiri lagi tanpa Zaya. Aku nggak nyangka bisa bertahan sampai sekarang. Dan... ." Daffa menatap Hizam lekat, "aku bangga pernah punya Mazaya."
"Yes, me too. I'm proud with Mazaya's strong. She's best girl, for me, and you."
"Mama pernah bilang ke aku, kalo dia sayang banget sama Zaya. Tapi sayangnya Mama nggak seberapa sama sayangnya Tuhan ke Zaya. Mama bener-bener sedih kehilangan Zaya, Kak. Tapi dalam keterpurukan Mama, Zaya dateng lewat mimpi, dia bilang kalo Mama bakal bisa, bakal kuat tanpa Mazaya." Daffa mengelap air matanya dengan lengan kaos yang dikenakannya, dia begitu sensitif jika sudah menyangkut Mazaya. Seberat itukah menjadi Daffa?
"Kita cuma hamba yang nggak bisa ngatur Tuhan, Daff. Tapi kita bisa minta sama Tuhan. Bukan minta masalahnya hilang, kita minta buat jalan keluarnya dipermudah. Aku juga bangga sama Mama kamu, dia sama kuatnya dengan Mazaya."
Siang itu mereka berbicara banyak mengenai Mazaya, gadis bandel yang dulu mereka lindungi. Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang sesenggukan dibelakang pintu bercat putih itu, dia Ghina. Wanita itu menangis tanpa suara, mendengar dua laki-laki yang membicarakan Mazaya. Ghina rindu anak perempuannya.
"Zaya, Mama kangen." Katanya lirih seraya mengusap air mata yang mengalir. Dan akhirnya wanita cantik itu memilih untuk kembali ke kamarnya usai mengantarkan minum untuk Hizam dan Daffa.
-abj-
"Zaya, kamu baik disana, ya. Aku kesini karena kangen kamu, aslinya aku pengen banget cerita sama kamu. Tentang hari-hari aku tanpa kamu. Maafin aku ya, bikin kamu jengkel terus." Nabila mengusap air matanya, sekuntum mawar merah dibawanya untuk teman yang selalu berada disisinya.
___
Sekolah selesai usai terik sedikit menjauh dari atas kepala. Peluh yang membanjiri dahi Mazaya perlahan mengering karena terpaan angin. "Hos... hos. Kenapa ninggalin aku, Zaya?!!!" Nabila yang baru saja marathon menggerutu geram pada Mazaya.
"Aku jadi capek harus lari buat ngejar kamu yang jalannya kayak kancil." Gerutunya dengan langkah yang masih menyejajarkan dengan ayunan kaki Mazaya.
"Kok diem, sariawan, Beb?" tanya Nabila.
"Shut," Mazaya memberi isyarat diam untuk Nabila seraya menunjuk ke depan. Sedangkan yang diberitahu tidak paham. "Ck, itu sepersekian detik bakal ketabrak, sono gih, bantuin."
"Maksudnya?"
Mazaya berlari dan menarik lengan seorang laki-laki muda yang tengah menyebrangi jalan, karena dia asyik bermain ponsel dan tidak melihat ada truk yang melaju kencang dari arah kanan.
"Shhh arrgghh," desis Mazaya menahan nyeri di lengan kanannya yang tak sengaja terkilir saat jatuh.
"Allahuakbar, makasih, Dek." Laki-laki itu ikut kaget tapi hanya mendapat lecet di sikunya karena terbentur aspal.
"Sama-sama, Kak, lain kali kalo mau nyebrang jangan main hp." Ujar Mazaya lalu beranjak dari duduknya di trotoar. "Duluan, Kak."
"Eh, bentar, siapa nama kamu?"
"Mazaya, Kak."
Laki-laki itu merogoh saky kemejanya dan mengambil dua lembar uang berwarna merah, memberikannya pada Mazaya. "Nggak usah, Kak. Buat makan Kakaknya aja, anak kosan, kan?"
"Ini, anggap aja terimakasih saya, saya hutang budi sama kamu. Dan, sepertinya lengan kamu terkilir, ini buat berobat"
"Beneran, nggak usah, Kak." Mazaya berlalu begitu saja usai sedikit menunduk pada laki-laki itu.
Nabila yang sedari tadi berdiri di tempatnya, kini berlari menyusul Mazaya. "Hadehhh, lari lagi, nih."
Setelah sejajar dengan Mazaya, Nabila menatap gadis yang meringis itu dengan prihatin. "Kok nggak diterima aja uangnya? Tangan kamu pasti sakit, tadi aja sampe bunyi krek."
Mazaya tersenyum, "kasihan. Dia anak kosan, pasti dari perantauan dan uangnya nggak seberapa."
"Katanya rejeki nggak boleh ditolak, berarti kamu udah nolak rejeki, Zaya."
"Susah ngomong sama kamu, aku nolak karena kasihan sama dia." Tukas Mazaya seraya menatap Nabila dalam, harap-harap temannya satu ini bisa paham.
"Dia juga kasihan sama kamu, dia mau ngungkapin rasa terimakasih-nya dengn ngasih uang itu, meski nggak seberapa sih, sama nyawanya." Bantah Nabila, ini kenapa siang terik malah berdebat.
"Yang lalu biarin ajalah, sekarang mending kita makan batagor." Mazaya membawa Nabila pada jajan pinggir jalan kesukaan mereka. Batagor Mas Bim.
"Besok aku mau diajak jalan sama Daffa, liat senja." Kata Mazaya memberitahu seraya mengunyah batagor nya.
"Widih, si paling Daffa nih. Bau-baunya, sih, udah ada yang jadian." Sindir Nabila dengan wajah melengos.
"Jadian dari hongkong, sewot amat jadi manusia."
____
Pagi hari usai Mazaya memberitahu Nabila bahwa dirinya akan pergi bersama Daffa justru menjadi hari yang menyedihkan untuk gadis itu. Mazaya jatuh sakit dengan kepala yang berdenyut tanpa henti juga lengan kanannya yang bengkak.
"Daffa, Zaya kayaknya nggak bisa. Harus bersih-bersih rumah." Bohong! Mazaya adalah si pembohong handal.
"Loh, kok gitu, sayang? Kan perginya nanti sore, kalo siang bolong gini nggak ada senja."
Sudah bohong, tidak berpikir dua kali pula. "Eum, ih-oh iya, nanti sore Zaya kerumah nenek, dijemput Bang Erlan."
"Zaya? Nggak ada yang lagi kamu sembunyiin, kan? Kalo ada apa-apa bilang sama aku, jangan buat aku khawatir, oke?"
"Iya, Daffa."
Dan seusai telepon itu berakhir Mazaya segera menghubungi Nabila untuk memintanya menemani pergi ke tukang urut. Mazaya kali ini tidak bohong, lengannya benar-benar sakit.
_
"Zaya? Udah nggak sakit, kan?" Nabila mengusap air matanya. "Aku banyak belajar dari kamu, selain kuat, kamu juga hebat. Kuat tanpa menjatuhkan, dan hebat tanpa meremehkan. Terimakasih cantik."
Nabila beranjak usai mengusap nisan Mazaya, gadis itu tidak menyangka kini dirinya sudah kelas 12. Tanpa Mazaya disampingnya. Mazaya benar, semua orang disekitarnya bisa kuat tanpa kehadirannya.
.
.
.
.
.ini buat kleann
maaf typo masih bertebaran_zedn
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPADA NUELLA [TAMAT]
Teen FictionSimpan saja rasanya Teruntuk bulan yang tak selalu membersamai bintang, Mazaya tidak kuat sendirian. Teruntuk Hizam, terimakasih waktunya untuk mendewasakan Mazaya. Kepada Semesta, sampaikan rindunya Mazaya pada ketenangan. Kepada Daffa dan kebai...