Kebanyakan orang bisa memberi saran karena dua alasan, pendidikan atau pengalaman.
_zedn
Hizam memegang pisau tajam ditangannya, laki-laki itu hendak memotong daging sapi untuk makan malamnya. Disini, Hizam hidup seorang diri. Di sebuah asrama yang luas kamarnya sedikit lebih luas dari kos-kosan di Indonesia. Hizam tidak tahu bagaimana seterusnya kehidupannya, bertahan atau memang harus kembali pulang. Hizam hanya mengikuti alur.
Sebenarnya Hizam memiliki teman yang sama-sama berasal dari Indonesia, hanya saja temannya itu jarang main ke asramanya. Karena apa? Karena dia perempuan.
"Arkhh!!" Hizam meringis kala pisau itu mengenai ujung jarinya. Menimbulkan luka gores yang cukup dalam yang mampu mengeluarkan banyak darah.
"Kenapa coba? Hadehhhh, kamu nggak hati-hati, Zam." Celetuk orang dibelakang punggung Hizam.
Dia, namanya Diana. Teman dari Indonesia yang baru Hizam kenal sejak satu minggu lalu, baru sebentar langsung akrab. Hebat, kan?
"Loh, kok nggak bilang-bilang kalo mau dateng."
"Biar kejutan aja, sini aku obatin tangannya." Diana menarik jari Hizam dan mencucinya di wastafel, lalu membawa pria itu duduk dikursi meja makan untuk mengobati lukanya.
"Makasih ya," kata Hizam. Dia tersenyum sekilas pada Diana yang sedari tadi tersenyum.
"Sama-sama, lain kali hati-hati."
Apakah Hizam lupa jika dirinya masih hutang penjelasan dengan Mazaya? Perihal kepergiannya, perihal rasa sayangnya, perihal pergantian kasih.
Tentu tidak, Hizam masih ingat dengan jelas bagaimana hal-hal itu berputar di pikirannya. Hanya satu penyebabnya, Hizam tidak sanggup membuat Mazaya menangis karenanya.
Bahkan saat bersama Diana-pun, pikiran laki-laki itu hanya tertuju pada Mazaya. Tidak ada niatan untuk menghilangkan Mazaya dari pikirannya. Meskipun jaraknya tak bisa digapai dalam satu menit, Hizam percaya jika Mazaya akan sepenuhnya baik-baik saja bersama Daffa.
-abj-
"Daff, aku nggak bisa ngerjain ini." Mazaya menatap lesu buku didepannya. Wajahnya benar-benar pucat karena dihadapkan pada lima soal matematika yang beranak.
Daffa menengok ke arah buku Mazaya, lalu tersenyum. "Sini, peluk dulu biar bisa."
Remaja itu menggapai bahu Mazaya dan mengelusnya lembut. "Aku nggak bisa ngerjain malah di manja gini, mending kamu aja yang ngerjain." Sewot Mazaya menatap garang Daffa yang masih cengengesan disampingnya.
Ya, sejak Mazaya sering mimisan, Daffa memilih untuk bertukar tempat duduk dengan Nabila, dengan alasan dia ingin selalu berada didekat gadisnya. Toh, bukan masalah besar juga.
"Kok sensi, iya nanti aku kerjain." Tawar Daffa.
Mazaya menggeleng, "harus selesai sekarang, nggak mau nanti-nanti. Biar beban dikepalaku nggak numpuk, Daff."
Daffa mengerti betul jika Mazaya tidak bisa diajak menanggung beban pelajaran terlalu lama. Pikiran Mazaya terkadang tokcer, terkadang juga lemot seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPADA NUELLA [TAMAT]
Teen FictionSimpan saja rasanya Teruntuk bulan yang tak selalu membersamai bintang, Mazaya tidak kuat sendirian. Teruntuk Hizam, terimakasih waktunya untuk mendewasakan Mazaya. Kepada Semesta, sampaikan rindunya Mazaya pada ketenangan. Kepada Daffa dan kebai...