Sebuah fiksi mampu membuatku mengawan tapi kembali dijatuhkan oleh kenyataan.
_hyzedn*
*
*
*
_"Zaya, disana gimana?" tanya Daffa seraya mengusap nisan Mazaya. Jangan lupakan matanya yang mengembun disertai isakan-isakan kecil dari bibirnya.
"Maaf, belum bisa jadi yang baik buat kamu, Zaya. Aku belum bisa ngasih yang terbaik buat kamu." Kepalanya menunduk dalam, manik biru milik Daffa menitikan air mata.
"Satu tahun tanpa kamu, aku nggak bisa, Zaya. Kalo aku boleh minta sama Tuhan, aku mau kamu tetep disini sama aku."
Mawar merah menghiasi pusara Mazaya, bau semerbak nya seolah mengatakan bahwa kebaikan Mazaya-lah yang mewangi mengelilingi pusara.
"Sayang," panggil Daffa lirih.
"Daff, kamu harus ikhlas, meski aku sayang kalian, tetep aku harus pergi. Ini udah jalannya seorang Mazaya, Daff." Bisikan itu menyapu telinga Daffa, mengundang keterkejutan Daffa.
Remaja itu menengok kearah kanan dan menemukan Mazaya yang tersenyum kearahnya, bajunya putih bersih. "Sayang, aku nggak lagi halusinasi, kan?"
"Daff," panggil Mazaya seraya memegang tangan Daffa yang menangkup pipinya. "Mazaya ini harus pergi, semua yang bernyawa akan kembali pada sang kuasa, ikhlasin Zaya, ya."
Daffa menggeleng kuat, "nggak boleh! Kamu harus disini sama aku, kamu nggak tahu gimana aku, Mama, dan Kak Arkha setahun lalu. Kita nggak bisa Zaya, kamu berharga, tolong, jangan pergi."
Mazaya menggeleng, "aku harus pergi. Ayah sama Ibu udah nungguin."
Gadis itu memeluk sejenak raga yang terisak didepannya, "sampai jumpa lagi, Daff."
"Zaya, aku nggak bisa." Liriknya mengiba pada Mazaya, Daffa sangat berharap agar Mazaya tidak benar-benar pergi dari sisinya. Tapi, dia hanya hamba yang tidak bisa melawan karsa Tuhan.
Mazaya tersenyum, dia mengelus surai kecoklatan milik Daffa. Bahkan sekarang laki-laki itu memiliki kumis tipis yang menambah kadar ketampanannya. Tapi sayang, Mazaya tidak bisa terus berada di sisi Daffa.
"Kamu bisa, husnuzon sama Tuhan."
-abj-
"Hizam?" Ghina terkejut kalau mendapati Hizam yang bertamu di kediamannya pagi ini.
"Pagi, Tante, Daffa ada?" sapanya ramah. Tidak ada yang berubah dari orang disekitaran Mazaya. Hizam dengan keramahannya, Daffa dengan sikap acuhnya, juga Ghina dengan kehangatannya.
"Ada, lagi mabar diatas sama Dino. Kamu keatas, gih, pintunya warna putih."
Hizam berlalu setelah mengucapkan terimakasih pada Ghina. Rencananya, dirinya dan Daffa akan mengadakan sebuah acara untuk satu tahun kepergian Mazaya.
"Kak Hizam? Masuk, Kak."
"Eh, Bang Hizam, sehat?" kini giliran Dino menyapa Hizam.
"Sehat," Hizam mengambil duduk disamping Dino yang menatapnya, seolah tahu apa maksud datangnya dia. "Heh! Ngedip keles."
"Gimana, Kak, rencananya? Jadi ada konsernya?" tanya Daffa seraya mengangsurkan minuman botol kepada Hizam.
Laki-laki dewasa itu mengangguk, "katanya Dino, nih, mau nyumbang lagu, Daff. Terus si Nabila sama gengnya ngadain musikalisasi puisi."
Dino yang merasa diperhatikan Hizam, kini tersenyum malu. Padahal suaranya tidak seberapa bagus, tapi untuk Mazaya, Dino berani unjuk suara. "Bisa aja, Bang."
Daffa mengangguk, "bagus dong. Ini acara bakal jadi yang pertama, jadi kita harus bener-bener siapin semuanya dengan baik. Kak Hizam jadi ketua panitianya, ya, besok kita bahas bareng Mama Papa."
Hizam mengangguk, "terus, kapan kita ke makam Mazaya? Bareng-bareng gitu."
Dino terpikir sebuah ide, "Daff, Bang, kenapa nggak tahlilan aja? Kan orang meninggal lebih seneng kalo kita ngirim doa, bukan lagu."
Daffa dan Hizam menganga, "bener juga. Tapi, sejak dia masih nakal-nakalnya, Mazaya tuh, pengen banget lihat konser. Tapi nggak kesampaian." Kata Hizam seraya menerka, baiknya tahlilan atau konser. "Gimana, Daff?"
"Dua-duanya gimana, Kak?"
"Mentang-mentang anak konglomerat, sekate-kate." Hizam mendelik sinis ke arah Daffa. "Inget, ya, Chil, berlebihan itu nggak baik."
"Yaudah kita ambil yang paling membantu Mazaya di alam sana." Dino mencetuskan sebuah ide.
"Pinter, kita tahlilan aja, udah paling bener. Kalo mau konser, besok aja pas kamu nikah, Daff." Kata Hizam tersenyum pada Daffa, dirinya melihat gurat kesedihan diantara senyum dan binar mata Daffa. Ternyata Daffa sama dengannya, masih belum bisa merelakan Mazaya pergi.
"Nikahnya sama siapa, Kak? Yang diajakin nikah udah keburu ketemu Tuhan." Daffa menunduk, menghela napas berat.
Dino yang melihat kesedihan sahabatnya, segera mendekat pada Daffa dan menguatkannya. "Aelah, lu katanya cowo. Ayolah, Mazaya juga nggak seneng ditangisi terus, Daff."
Daffa hanya mengangguk, seandainya mereka tahu. Bayang-bayang Mazaya tidak bisa pergi dari pikirannya.
Sebernanya, Daffa begitu merindukan Mazaya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Tenksss udah ikutin sejauh ini,
nantikan cerita baruku yang bakal update bentar lagi..._hyzedn
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPADA NUELLA [TAMAT]
Teen FictionSimpan saja rasanya Teruntuk bulan yang tak selalu membersamai bintang, Mazaya tidak kuat sendirian. Teruntuk Hizam, terimakasih waktunya untuk mendewasakan Mazaya. Kepada Semesta, sampaikan rindunya Mazaya pada ketenangan. Kepada Daffa dan kebai...