“Levra!”
Levra reflek menoleh pada panggilan Ken, tapi saat laki-laki itu berlari untuk sampai bisa mensejajarkan langkahnya, dia malah mengangkat ransel di punggung Levra.
“Berat amat. Ini buku seperpus lo bawa semua?”
Levra tersenyum, lalu melirik ranselnya yang terasa ringan sebab sebagian besar bobotnya sudah Ken ambil alih. “Kaga lah. Gue ngga semaniak itu sama buku. Ngga kaya Zao, tuh bocah biar keliatan slengean, tapi otaknya encer bener.”
Ken terkikik geli, tapi membenarkan penilaian Levra barusan. “Kalo gue?”
“Lo tetep peringkat atu paralel, si ketua kelas, si ketua klub drama, nyaris sempurna?” Kemudian Levra mencebik, “Pengen banget lo dipuji gitu?”
“Ngga, sih. Gue ngga haus pujian.”
Akhirnya mereka sampai di kelas—XI IPS 3—yang diisi oleh anak-anak unggulan dan anak-anak strata bawah, seimbang. Tapi Ken dan Zao tetap berebut peringkat pertama, dua-duanya teman Levra, dia mengenal Ken karena mereka bertetangga, dia juga mengenal Zao karena gadis nyentrik itu merupakan teman pertamanya di sini.
Setelah Levra duduk di tempatnya, dia menengok pada Ken yang turut mendudukkan diri di sebelahnya.
“Lo ngga duduk sini, Ken.”
“Tau gue,” Ken malah asik mengamati Levra; yang sedang mengeluarkan semua bukunya, menata alat-alat tulisnya, bahkan sampai mengelap mejanya. “Heran. Padahal lo lebih rajin dari gue, tapi kenapa ngga bisa dapet ranking, sih? Kan jadi ngga enak gue.”
“Lebay banget.” Levra memberengut, “Kebiasaan lo, suka ngejekin gue. Iya, iya. Mentang-mentang lo pinter, ngga usah dipamerin segitunya, dong.”
Ken tertawa, lantas dia beranjak dari duduknya. “Betah banget duduk sendiri.”
“Lo lebih pilih duduk di belakang, ngga seru, ngga setia kawan.” Levra memang sedang memprotes, tapi dia tak benar-benar berniat melakukannya dari hati. “Zao juga, dia malah lebih suka duduk di tengah-tengah.”
Karena menurut Levra—bagi matanya yang minus empat, melihat papan tulis dengan jarak paling dekat alias duduk di deret paling depan sungguh sangat memudahkannya, tapi hal itu sama sekali tidak didukung kedua sobatnya.
“Keeen—tod. Leeeep—ra.”
Zao datang, mulai merusuh; dengan teriakan cemprengnya, dengan pelukan cerianya, dengan high-fivenya.
“Kumat. Kambuh.” Ken geleng-geleng, merasa takjub dengan energi Zao yang seolah tak ada habisnya ini. “Udah terapi lo minggu ini?”
“Enak aja.” Zao mendelik pada Ken, lalu tersenyum pada Levra. “Katanya bakal ada anak baru. Jarang-jarang sekolah kita kedatengan anak baru, kan? Gua jamin, lo pasti bakal dapet temen sebangku kali ini, Lep. Terus ntar Lepra ngga bakal jomblo lagi, soalnya benih-benih cinta bakal tumbuh seiring berjalannya waktu. Cie.”
Levra hanya memutar bola matanya, malas. Kemudian berujar, “Klise. Ini bukan film atau drama. Kalo ada anak baru, terus gue harus heboh gitu?”
“Emang anak barunya cowo?”
Zao menjawab pertanyaan Ken dengan anggukan antusias, “Pindahan dari Petra. Katanya baru seminggu di sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...