"Marlboro satu aja."
Baran menunjuk satu kotak kecil berpaduan warna merah dan putih di etalase penuh kotak-kotak nikotin lain, selanjutnya dia menyerahkan selembar limapuluh ribu ke meja kasir dan menerima kembaliannya. Sembari berjalan keluar toko, ia buru-buru merogoh korek di saku celana jins, lalu mengambil satu dari belasan puntung rokok utuh di dalam bungkus kotak ini, baru kemudian mengapit batang ramping itu di belahan bibirnya. Begitu bersiap menyalakan rokok, koreknya tak berfungsi hingga ia mendadak kesal sebab sudah memantik berkali-kali.
Namun, seseorang menyalakan rokok untuknya.
Baran terkesiap saat menemukan Kenaka menarik kembali korek miliknya dari ujung batang nikotin yang kini sudah membarakan api. Ia pun mengisap kuat-kuat sebentar, baru mengepulkan asap di udara.
"Lo buntutin gue?"
Ken menggeleng, "Gue emang harus nemuin lo, Bar."
"Tenang aja, gue pinjem nama lo bentar lagi, abis ini gue lunasin semuanya, jadi gue ngga perlu nama lo lagi," Baran berujar seraya melangkah ke sisi samping minimarket, lalu menikmati rokoknya dengan memandangi jalan raya, "Kalo lo ke sini cuman buat nyeramahin atau nguliahin gue soal apa yang gue lakuin sampe hari ini, gue udah bosen, Ken."
Ken, yang memang sengaja mengekori Baran, tersenyum tipis. Dia mengabaikan tuturan tersebut dan memilih topik lain, "Gue baru tau lo punya adek. Bukan adek kandung lo, kan? Btw, adek lo seems nice, tapi kayanya hubungan lo berdua ngga baik."
"Ngapain lo bahas kehidupan pribadi gue yang bahkan pas kita masih temenan aja ngga pernah lo tanyain?" Baran mendengus, tatapannya tetap terarah pada sederet kendaraan yang saling mengklakson di depan sana, "Bukan urusan lo, Ken. Gue udah bukan temen lo sama anak-anak, we're done. Tolong, sabar bentar kalo masih banyak telpon masuk ke hp lo, mending ganti nomer aja."
Ken tergelak seketika, "Enteng bener lo ngomong, ya? Mau sampe kapan lo pinjol cuman demi menuhin hasrat nyandu lo, sih?"
Kini, Baran reflek melirik Ken, "Gue bakal berenti kalo udah saatnya, kok. Sorry, gue ngancurin persahabatan kita gara-gara gue pake nama lo sembarangan, mana buat dapet pinjeman biar gue bisa ngisep kokain. Gue janji abis gini berenti."
"Gue ngga masalah soal itu. Gue mikirin lo, Bar. Ngga ada kata nanti buat berenti, lo harus berenti sekarang."
Namun, Baran malah menepuk bahu Ken sekilas, baru menyambung, "Lo juga harus berenti balapan, Ken. Keluarga kita sama-sama ngga ada yang tau, kan? Kalo lo balapan tiap malem, kalo gue nyandu kokain tiap hari? Kita di kapal yang sama."
Maka, dalam sekejap, Ken tertegun, tapi dia masih berusaha menyangkal, "Beda, Bar. Lo lebih parah dari gue—"
"—iya, emang lebih fatal gue, tapi apa lo ngga mikir kalo lo ugal-ugalan di jalan gitu bisa berpotensi kecelakaan, langsung newasin lo di tempat?"
Sekian detik berlalu, Ken kelimpungan membalas, hingga dia berdeham kikuk, "Kalo gitu, lo sama gue harus sama-sama berenti dan saat itu terjadi, jadi temen gue lagi."
"Ha?" Baran malah mengeraskan tawanya, dia terpingkal kegelian, "Kenapa ngga dari sekarang aja? Kenapa ngga kita bareng-bareng berubah ke yang lebih baik? I mean, okay. Gue emang yang duluan ninggalin lo pada karna ngerasa ngga enak udah bikin masalah, tapi sekarang gue mikir—rencana ngga mesti jalan sesuai rencana. Siapa tau umur gue ngga panjang—"
"—dih! Ngomongnya jangan ngelantur, Bar. Makanya, berenti sekarang."
"Terus, lo mau ngorbanin karir balapan lo yang udah di puncak itu sekarang juga?"
![](https://img.wattpad.com/cover/319227151-288-k293435.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...