Kenaka mengernyit saat Ken dan Levra menceritakan soal mental Dawai padanya."Baran. Kakaknya Dawai. Dia harus tahu, kan?"
Levra menggeleng. "Nanti dulu aja kalo udah pasti, Bang. Kan kita belum dapet vonis dari Psikiater."
"Orang tuanya juga jangan tahu dulu, nih?"
Kini Ken mengangguk. "Setelah semua pasti, baru kita kabarin. Sekarang, masalahnya, gimana cara bawa Dawai ke Psikiater? Kayaknya, dia bakal nolak abis-abisan."
Kenaka terpekur beberapa saat, lalu menjauhkan jus jeruknya yang tinggal separuh sambil mengesah berat. "Ada aja masalah si Dawai ini, ya. Coba gue aja yang ngomong berdua sama Dawai. Siapa tahu dia bisa nurut sama gue."
Ken dan Levra setuju, sehingga mereka bisa meninggalkan meja makan di mana Kenaka berpikir keras soal siasatnya membujuk Dawai untuk pergi memeriksakan kejiwaannya.
***
"Lo ngapain aja sama Dawai pas pergi berdua itu, Lev?"
"Kepo," goda Levra sambil menyengir. "Kayaknya, mulai sekarang, gue mau belajar nggak bergantung sama lo mulu, deh, Ken. Gue udah banyak ngerepotin lo selama ini. Dan lagi, gue pengen punya privasi, satu ruang yang lo nggak perlu tahu."
"Lo apaan, sih? Kenapa jadi ngelantur gini ngomongnya?"
Levra memang sudah bisa menebak reaksi Ken. Laki-laki jangkung itu pasti akan panik dan tidak terima.
"Dawai nyuruh lo begitu? Jauhin gue?"
"Bukan jauhin lo," sanggah Levra. "Mana bisa gue jauhin sahabat gue, sih? Sampe kapanpun, kalo ada yang nyuruh gue jauhin lo, gue yang bakal jauhin mereka duluan. Lo tetep nggak tergantikan, Ken. Tapi, gue mau bersiap semisal nanti lo nggak bisa selalu jagain gue, gue bisa jagain diri gue sendiri."
"Kapan gue nggak bisa jagain lo? Gue selalu bisa."
Ken semakin menekan, sehingga Levra perlu mengalihkan tatapan menuju jalanan komplek di depan teras tempat mereka duduk bersebelahan. Sampai akhirnya, dia temukan kalimat lain.
"Gue tahu lo selalu berusaha buat gue, tapi nggak ada yang tahu soal masa depan, Ken," ujar Levra, tiba-tiba menghujam sepasang mata Ken yang tampak terluka.
"Semenjak ada Dawai, lo berubah, semua yang ada di diri lo berubah," kata Ken, benar-benar dari hatinya. "Lo bahkan kepikiran buat nggak bergantung sama gue lagi, yang lo butuh privasi lah apa lah, ya gue juga nggak minta lo ceritain semuanya secara mendetail, kok." Dia menjeda. "Terus, lo jadi mau terima ajakan Dawai, jalan berdua doang tanpa penolakan. Lo beneran udah sembuh dari trauma lo? Lo udah nyaman jalan sama cowok lain selain gue? Oke, gue emang nggak berhak marah, tapi gue takut lo kenapa-kenapa, Lev."
"Gue nggak bakal kenapa-kenapa, Ken. Gue cuma pengen mandiri. Gue cuma pengen lo juga fokus sama diri lo, bukan ke gue doang," ucap Levra dengan senyum menenangkan.
Seolah menyatakan bahwa ini bukan masalah besar bagi Levra, tapi tentu bagai bencana bagi Ken.
"Lagian, gue jalan sama Dawai kan demi ngebuktiin tuduhan lo—"
"—nggak tuduhan, Lev," sambar Ken. "Kita harus secepetnya nolong Dawai sebelum makin parah."
"Yah, iya. Tapi, ada satu hal soal Dawai. Soal ibunya," tambah Levra. "Gue takut dia nggak mau rahasia itu dibongkar dan semua orang jadi tahu."
"Emangnya apa? Ibunya kenapa? Ada sangkutpautnya sama mental—"
"—jelas ada," putus Levra. "Karna profesi ibunya itu bisa jadi alasan Dawai kena mental."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Fiksi RemajaJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...