Kenaka sengaja menjemput Levra tanpa bilang dulu padanya, niatnya biar jadi kejutan. Tapi ternyata, adiknya itu belum keluar dari gerbang sekolah sejak duapuluh menit lalu dan dia baru ingat kalau hari ini Levra ada latihan cheers. Jadi Ken duduk di atas kap mesin mobilnya, dia yakin Levra sebentar lagi selesai, makanya dia mau menunggu untuk beberapa menit ke depan.Namun, Ken justru teralih pada—Baran, yang tahu-tahu saja muncul di depan gerbang sekolah Levra, yang tahu-tahu saja ia temukan setelah berbulan-bulan menghilang dari peradaban. Ken sudah meniti beberapa langkah, tapi harus terhenti sebab Baran justru sudah berhadapan dengan orang lain—laki-laki seumuran Levra, rambut hitam tebal, dan dengan senyum merekah itu.
“Ini kuncinya, Kak. Tapi aku belum sempet gandain, jadi cuman ini—”
“—iye, tau, bawel amat, sih.” Baran berdecak saat menerima sodoran dari lawan bicaranya, Ken mensinyalir kalau itu serupa kunci rumah. “Lagian, kunci gue emang ilang. Lagian, kunci ini kan buat rumah gue, bukan rumah lo. Harusnya lo ngga berhak ngatur-ngatur gue—”
“—kenapa, sih, Kak? Harus banget apa ngungkit-ngungkit itu di luar rumah? Kalo mau bahas itu, bisa di rumah aja, kan? Bisa, kan? Plis—”
“—suka ngatur emang sama persis kek Nyokap lo.”
Desisan Baran usai setelah dia berbalik memunggungi Dawai, tapi Ken—yang tak sengaja dengar seruan-seruan itu beradu, jadi kelimpungan kembali ke tempatnya. Dia harusnya memanggil Baran, dia harusnya menyetop Baran, dan mempertanyakan alasannya menarik diri. Sayangnya, semua niatan itu tak terwujud satupun, jadi Ken harus mengesah kecewa tepat saat ia lihat punggung Baran sudah bergerak makin jauh.
“Bang.” Sejurus kemudian, Levra muncul sambil menepuk keras-keras bahunya. “Sejak kapan jadi kang parkir sekolah Dedek?”
Levra tahu di gerbang sana Dawai masih berdiri kikuk, entah sedang apa, yang dia tahu anak itu pasti sedang mengamati interaksinya ini.
“Eh, Wai. Kaga pulang lo?” Namun, sapaan Kenzal malah mengejutkan Dawai. “Sejak kapan juga lo nemenin Mang Ulim jadi satpam sekolah kita?”
“I—iya, gue mau pulang ini. Duluan, ya.”
Sebelum Dawai melenggang makin jauh, Ken berteriak keras-keras, “JANGAN LUPA NGAPALIN DIALOG LO!”
“I—iya, gue udah afal separo, kok.”
Sambaran Dawai itu tidak dalam berupa seruan, tapi mereka semua yang ada di sana bisa mendengarnya sangat jelas.
Jadi ketika Dawai sudah benar-benar pergi, Levra menyikut rusuk Ken—sobatnya, bukan kakaknya. “Cie, kaya lo baru jadian ama Dawai aja, co cwit. Ngapa ditereakin, sih, lebay amat. Orang jaraknya belom jauh-jauh banget juga,”
Ken mencebik, “Serah gue lah. Mulai hari ini, Dawai itu aset berharga klub gue.”
Levra hanya manggut-manggut setuju, lebih tidak ingin mendebat lagi, jadi dia beralih lagi pada Kenaka, “Abang ngapain jemput Dedek? Tumben.”
Ken turut heran, “Nah, baru mau gue tanyain, biasanya kan Bang Ken sibuk teros.”
“Itu tadi temen lo pada?”
Levra dan Ken kompak mengangguk.
“Namanya siapa?”
Sempat ada pertukaran pandangan dari Ken menuju Levra, tapi keduanya serempak menjawab, “Dawai.”
Kenaka berpikir sebentar, “Dawai. Masa adeknya? Baran ngga pernah cerita dia punya adek, kok.”
“Kebiasaan! Monolog bae, mending Abang ikutan klubnya Ken, deh.” Levra jengah setiap kali Kenaka tertangkap sedang berbicara sendiri. “Baran? Kaya kenal namanya. Oh! Kak Baran temen Abang itu, kan? Yang biasa maen ke rumah dulu terus kalian gitaran berdua? Eh, tapi udah berapa tahun Kak Baran ngga ke rumah, ya? Kalian udah ngga temenan, kah? Terus, emang Abang ada hubungan sama temen Dedek itu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...