Bab Tujuhbelas

56 8 1
                                    

"Kok sepi?"

Zao tersenyum begitu Dawai sampai di hadapannya, dia juga mengedarkan pandang ke sekeliling aula, "Emang, Wai. Sori, ya. Gue boongin lo. Soalnya, kalo ngga gini, kita ngga bakal bisa ngomong berdua."

"Oh, jadi ngga pindah?"

Zao menggeleng, "Ngga. Tetep di kelas," Lantas, dia sibuk mengaduk isi ranselnya, baru menyodorkan dua lembar kertas ke Dawai, "Ini data entri buku-buku perpus."

"Makasih. Ini kan tugas gue—"

"—kan emang gue yang mau bantuin lo."

"Tetep aja, harusnya ngga usah—"

"—ngga papa, ntar gaji lo buat nraktir gue aja."

Dawai tersenyum samar, tapi tidak punya sesuatu untuk dibahas lagi dengan Zao. Ia jadi kikuk seketika, mendadak atmosfer berubah canggung sampai-sampai dia hanya bisa menggaruk tengkuknya.

"Mm," Zao pun bergumam, "Lo nanti latian teater lagi?"

"Ngga. Lagi minggu ujian. Kan udah menang kompetisi juga kemaren."

"Oh iya," Zao spontan berdeham, "Terus, lo ada acara sepulang sekolah nanti?"

Dawai mengedip beberapa kali, sedangkan Zao mati-matian menahan rasa malunya, "Ngga ada kayanya, sih. Biasa gue bantuin Nyokap di toko. Abis itu ngelesin. Emang kenapa?"

"Mulainya jam berapa?"

Dawai meringis seketika, "Bantu toko jam lima biasanya. Malemnya baru ngelesin."

"Lah. Lo kapan belajarnya?"

Dawai mengerjap heran sekarang, "Yah, disempetin di sela-sela waktu itu. Kenapa emangnya, Za?"

Zao berpikir sejenak demi memilih kata dan merangkai kalimat sebaik mungkin supaya Dawai paham, "Gue sebenernya mau ngajakin lo ngerjain laporan. Pulang sekolah ntar biar cepet kelar."

"Laporan apa?"

"Kok belaga lupa lo, Wai? Kan baru kemaren dikasih tugas di grup."

"Hah? Yang mana—oh, laporan astronomi yang disuruh partner-an itu?"

"Nah!" Zao tidak sadar sudah kegirangan sendiri, "Karna Ken pasti sama Levra, jadi gue sama lo aja. Mau, kan?"

Tentu Dawai tak punya pilihan untuk menolak ajakan Zao itu. Mungkin lebih ke rasa tidak enak hati bila harus menolak. Lagi pula, belum tentu jika dia menolak Zao dia akan dapat pasangan untuk mengerjakan laporan astronominya.

"Boleh, deh."

Dengan itu, maka Dawai sengaja mengabaikan senyum kelewat sumringah Zao.

***

Hari pertama UTS Pendidikan Agama dan Bahasa Indonesia. Tempat duduk sesuai nomor absen, bukan sesuai abjad. Jadi, kebetulan sekali Levra duduk di sebelah Dawai lagi, meski bukan sebagai teman sebangku sebab ada jarak pemisah sebagaimana ujian biasa dilaksanakan untuk meminimalisir contek mencontek.

Dawai beberapa kali melirik Levra, sepertinya ujian apa pun selalu tampak sulit bagi gadis berambut panjang itu. Maka, dia kelepasan menahan kikikan padahal suasana kelas sedang hening-heningnya hingga Levra menyadari dan menoleh ke tempatnya.

"Anjir, susah banget," kata Levra tanpa bersuara, Dawai bisa dengan jelas membaca gerak bibirnya. Lantas, dia mulai bermain kode, "Nomer empat apa?"

Empat jari ramping Levra telah Dawai amati baik-baik. Dia bergantian memindah tatapan dari lembar jawabannya menuju wajah kusut Levra—yang hampir putus asa hingga meminta bantuannya. Namun, prinsip Dawai tidak selonggar itu. Dia cukup tegas untuk urusan nilai. Bukan berarti dia pelit, tapi dia hanya ingin Levra bisa mengerjakan sesuai kemampuannya sendiri.

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang