Bab Dua

180 25 23
                                    


“Dek!”

Levra tahu sebentar lagi pasti pintu kamarnya akan menjeblak lebar, jadi dia hanya perlu tetap diam sekarang.

“Dek!”

Satu, dua, tiga—Levra berhitung dalam hati dan setelah hitungannya selesai, Ken—kakaknya, yang beda tiga tahun dengannya, yang kuliah jurusan hukum di UI, yang namanya sama seperti  Ken teman sekelasnya sekaligus tetangga mereka juga ini—masuk tanpa ijin.

“Lo tiba-tiba budek apa gimana, sih?”

Levra akhirnya mengalihkan tatapan dari layar ponsel, lalu mengangkat kedua alis sesaat setelah Ken berkacak pinggang di sebelah ranjangnya.

“Kenapa lagi, sih, Bang?”

Ken malah cengengesan, “Pinjem charger, dong.”

“Ya elah. Gitu doang udah rame banget.”

Levra terpaksa menuruni ranjangnya dan membuka laci nakasnya—begitu menemukan barang pinjaman Ken, dia segera menyodorkannya.

“Makasih, Cantik.” Ken tersenyum seraya mengusak puncak kepala Levra, “Gimana sekolah hari ini? Ada cerita apa?”

“Duh, mulai keponya.” Levra berbalik, lalu duduk di tepian ranjangnya, tidak disangka Ken pun ikut menyusulnya duduk di sana. “Yah, gitu gitu aja, nothing’s special.”

“Masa, sih?” Ken manggut-manggut, seolah percaya. “Tapi gue kenal adek gue. Kalo mukanya udah ditekuk gitu, pasti ada apa-apa, kan?”

Karena sudah ditanya, Levra jadi gagal mengelak. Sejam lalu, Dawai mengiriminya pesan—dia bilang mengapa Ken belum memasukkannya ke grup kelas. Semua orang bilang Levra itu kelewat cuek, dia jarang berinteraksi jika bukan dengan Ken atau Zao, dia benci orang baru mengajaknya bicara—dan Dawai melakukan itu seolah mereka sudah saling kenal untuk waktu yang cukup lama.

“Ada anak baru, duduk sebangku sama Dedek.”

Namun, setelah kalimat itu, reaksi spontan Ken justru mengundang lirikan sinis Levra, sebab kakak laki-lakinya itu malah terbahak campur tergelak, sampai kegelian memegangi perutnya.

“Apaan, sih, Bang? Kenapa malah ngetawain Dedek?”

Akhirnya tawa Ken mereda, “Jadi lo kesel gara-gara ada orang yang duduk bareng lo? Bakal ada orang yang ganggu ketenangan lo? Bakal ada orang yang ikut campur sama urusan lo?”

“Nggak! Dia nggak boleh sampe sejauh itu!” sergah Levra, mendadak panik dengan omongan Ken yang bisa saja jadi kenyataan—kalau sampai Dawai berani melewati batas, sungguh dia tidak akan tinggal diam. “Abang kan tau, Dedek nggak suka ada orang sok akrab sok deket kaya gitu, apalagi dia keliatan kek bocah prik.”

Ken memandangi wajah Levra—yang bersungut-sungut tidak terima itu. “Ya namanya idup, jadi manusia mah harus bersosialisasi. Kalo mau idup kaya gitu, mending lo pindah ke hutan aja dah.”

“Tapi dia nyebelin, Bang. Masa tadi di chat dia bilang Ken belom masukin dia ke grup kelas, kan dia harusnya nanya Ken, kenapa nanya Dedek coba?”

Ken memutar bola matanya—jengah, sebab tidak sekali dua kali Levra bersikap ignorance seperti ini. “Ya dia mana kenal sama Ken, orang baru hari pertama juga. Kan lo yang duduk di sampingnya, udah otomatis kalo dia kenalnya sama lo doang.”

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang