"Duh! Apaan—Dawai? Lo ngapain, anjer?"
Levra protes saat Dawai tiba-tiba merebut gelas di tangannya untuk kemudian ditaruh di atas meja, kini tangannya yang kosong sudah ditarik Dawai hingga mereka tersembunyi di bawah tangga rumah Karin.
Dawai celingukan sebentar baru memusatkan tatapan menuju wajah kesal Levra, "Sori. Gue cuman ngga mau pesta ulang tahunnya Karin jadi berantakan."
Levra jadi makin memberengut, "Maksud lo?"
"Yah," Dawai mengesah sebelum menyahut, "Gue takut lo ngamuk."—dan trauma lo muncul lagi. Tentu saja, lanjutan kalimat barusan hanya ia teruskan dalam hati.
Levra pun mengernyit bingung, "Ngga jelas banget lo."
Namun, saat Levra akan pergi dari sini, Dawai justru sigap menghentikan langkahnya. Kemudian, tatapan mereka bertemu—ada daya magis di sepasang iris obsidian Dawai hingga Levra terdiam untuk beberapa detik.
"Turutin gue." bisik Dawai, "Sebentar aja."
Levra tidak sadar dia sudah mengangguk, ternyata dia juga tidak sadar kalau Dawai sudah memegangi kedua tangannya.
"Babe!"
Levra kenal milik siapa suara tadi, hingga tangan-tangannya di genggaman Dawai berubah dingin dalam sekejap. Jadi, dia mengerti sekarang mengapa Dawai enggan membuatnya marah dan berpotensi menghancurkan pesta ulang tahun Karin.
"Lo di mana? Gue kangen, nih."
Levra membeku; dia takut, dia panik, dia kalut, matanya melebar, dadanya kembang-kempis, bahkan kaki-kakinya bergetar tak karuan. Demi apapun, Levra tidak mengira akan bertemu Ray lagi setelah sekian lama. Namun, Dawai paham keadaan Levra, jadi dia memutar tubuh Levra— yang gemetar dan menggigil halus itu—agar menghadap dinding.
"Tenang. Tarik nafas, buang nafas. Gue di belakang lo." Dawai melirih sambil menekan kedua tangannya pada dinding tepat di samping kepala Levra. "Misi. Gue ngga boleh sembarangan nyentuh lo, karna lo trauma sama sentuhan, kan? Jadi, yakin aja sama gue. Lo tinggal berdiri, merem, diem, dan musatin seluruh pikiran lo ke hal lain."
Levra melirik kedua lengan Dawai yang ada di samping kanan dan di samping kirinya—tampak kokoh, tapi tidak sekokoh milik Ken. Bicara soal Ken, ini pertama kalinya dia setuju akan bantuan orang lain selain Ken.
Ken pergi ke toilet tadi, sedangkan Zao pamit untuk menerima telepon.
Mereka berdua tidak ada disaat Levra kembali berjumpa dengan penyebab traumanya.
"Gotcha."
Dawai dan Levra kompak menoleh saat Ray berhasil menemukan tempat persembunyian mereka. Ketika Ray berkacak pinggang sambil menyeringai, Dawai segera menurunkan tangannya dan Levra segera menjaga jaraknya.
"Ups. Lo berdua ngapain? Gini, ya, pacaran model sekarang?"
Ejekan Ray membuat Levra jadi naik pitam, tapi dia memberanikan diri untuk berseru, "Heh! Otak mesum! Gue ngga pacaran sama dia! Jangan sok tau lo!"
"Gue kira lo pacaran sama Ken."
Levra mendelik, "Ken itu sahabat gue! Kita ngga mungkin lebih dari itu!"
"Kita berdua sama-sama sahabat Ken, Lev. Lo lupa siapa yang ngenalin lo ke gue dulu?" Ray berujar culas, ada dengusan setelahnya. "Terus, ke mana sekarang sayap pelindung lo? Kenapa ganti jadi—siapa lo? Anak baru, ya? Gue ngga pernah liat lo."
Dawai baru mau menyahuti Ray, tapi Ken tiba-tiba muncul bersama Zao. Ketika Zao menarik Levra, Ken berdiri tepat di depan Ray.
"Lo ngga diundang. Lo ngga diajak. Ray. Lo bukan bagian dari sekolah ini lagi. Lo juga udah bukan sahabat gue. Jadi, buat apa lo nunjukin muka lo di sini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...