Bab Duapuluh Dua

32 6 1
                                    

Sesuai ucapan Dawai, laki-laki bermata bulat itu sudah menjemput Levra tepat di depan rumah. Meski hanya mengenakan pakaian sederhana seperti kaus putih dan jaket hitam yang dipadu dengan jins belel biasa, dia yakin penampilannya ini tidak berlebihan.

Namun, begitu mematikan mesin motor sekaligus melepas helm-nya, Dawai justru bertemu dengan Kenaka.

"Eh, Bang. Levra ada, kan?"

Ken mengangguk. "Lagi siap-siap, bentar lagi selese. Emang lo pada mau ke mana? Berdua doang?"

"Mm, iya, Bang. Mau lihat kucing."

Ken terkekeh, "Santai aja kali. Gue cuma nanya. Kucing kan banyak seliweran di komplek sini, Wai."

Dawai jadi kikuk seketika, lalu bergumam, "Bener, sih. Tapi, kucing yang mau kita lihat, tuh, kucing ras, Bang. Boleh, kan?"

Sebelum menjawab pertanyaan Dawai, Ken sengaja memindah tatapan menuju jendela kamar Kenzal alias Ken juga, tetangga sekaligus sobat Levra. Dia tahu Kenzal mengintip dari sana.

"Bang?"

"Hm? Apa? Oh, boleh."

"Nggak bakal gue pulangin lewat jam sepuluh, kok. Janji!" seru Dawai, kelewat antusias.

"Gue pegang, ya, janji lo. Kalo lewat, gue nggak ijinin lo jalan sama adek gue lagi, loh. Oh, dan jangan pegang-pegang, lo pasti udah tau adek gue ada trauma," tekan Ken, sudah beralih lagi menuju Dawai. "Udah jengukin Baran lagi? Sehat, kan? Kasian juga dia, ya."

Dawai menggeleng. "Siap, Bang. Jangan khawatir. Uh, jengukin Kak Baran belum sempet, Bang. Masih sibuk sekolah sama nge-les-in. Mungkin weekend nanti."

"Gue ikut seneng dia akhirnya sadar dan hubungan lo sama dia juga membaik," ungkap Ken, dengan senyuman. "Sama temen-temen kita dan sama gue pun juga udah balik kayak semula. Kita udah mau maafin dia yang khilaf, karna gimanapun dia kan juga temen kita."

"Makasih, Bang. Karna bantuan Abang, semuanya jadi pelan-pelan membaik."

Tak lama kemudian, Levra sudah bergabung dengan mereka. Dia mengenakan atasan putih bermotif bunga daisy dan celana jins berwarna hitam. Rambut panjangnya digerai, ujungnya sengaja dikeriting sedikit. Riasannya pun natural, pipinya terpoles rona warna merah muda. Cantik—Dawai membatin.

"Nggak dingin lo? Mana jaketnya?" tanya Ken saat Levra menerima sodoran helm dari Dawai.

Levra membasahi bibirnya sebentar, lalu membalas, "Gerah, Bang. Mana ada Jakarta dingin?"

"Kalo dibilangin demen banget ngeyel," omel Ken sampai Levra berakhir duduk di belakang Dawai.

Dawai jadi meringis. "Anu, Bang. Nanti kalo dingin biar gue pinjemin jaket gue. Aman, kok."

Ken maklum, dia tahu kedua remaja ini ingin cepat-cepat tancap gas dari hadapannya. "Ya udah. Sana buruan. Jangan pulang kemaleman."

"Bawel, ah, cerewet!" ejek Levra sambil menjulurkan lidah, sementara Dawai manggut-manggut tak enak hati, tapi tetap melajukan motornya. "Jangan dikunciin, ya, gue!"

Sepeninggal Dawai dan Levra, Ken tidak langsung masuk rumah, tapi dia melambai dulu ke Kenzal yang baru saja membuka pintu balkon kamarnya.

"Nggak ikut mereka lo, Ken?"

Kenzal tersenyum kecut. "Nggak diajak, Bang."

"Nggak ada masalah, kan?"

Kenzal menggeleng. "Aman, Bang."

Padahal dua orang pemilik nama Ken itu sama-sama menyadari kalau Levra agak berubah—berubah di bagian dirinya yang sudah cukup terbuka hingga ajakan Dawai tak dia tolak.

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang