Bab Empatbelas

52 5 0
                                    

Jam pulang sekolah sudah tiba, jadi mayoritas murid segera berlomba untuk pulang, sementara beberapa di antara mereka tetap tinggal; sebagian mengerjakan tugas kelompok dan sebagian lagi mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Zao dan Levra sedang membentuk formasi di gimnasium dengan tim cheers mereka karena dalam waktu dekat tim basket SMA 88 akan tanding tingkat provinsi. Begitu pula dengan Ken dan Dawai yang sibuk mempersiapkan kematangan pentas drama tim teater mereka sebab kompetisi sudah di depan mata.

Karin sendiri baru tiba di ruang klub yang kemarin diliputi atmosfer menegangkan. Sekarang, sepertinya Ken dan Dawai sudah baik-baik saja atau mereka memang sengaja menganggap ini semua baik-baik saja.

"Alright, Guys!" seru Karin, memecah keheningan hingga teman-temannya yang bersimpuh di lantai mengalihkan atensi mereka dari naskah menuju dirinya, "Mau dimulai sekarang? Lombanya udah lusa, nih."

"Anjir, cepet banget," sahut Satria, si pemeran figuran, "Untung dialog gue dikit, yang penting mah lo sama Dawai, Rin."

Karin menangguk, lantas menoleh menuju Dawai yang sudah menggulung naskah sambil merapal kalimat-kalimat yang harus ia ucapkan nanti, hingga membuatnya kelepasan terkekeh, "Wai, lo bukan kaya lagi nginget dialog, tapi kaya lagi bacain mantra pelet, tau."

Dawai tersenyum tepat setelah Karin sampai di hadapannya, "Emang? Tapi, gue udah siap, kok. Lo gimana?"

"Udah juga," Kemudian, Karin memindah tatapannya menuju Ken, "Gimana, Pak Ketua? Jadi dimulai sekarang?"

Ken berpikir sejenak demi menimbang beberapa hal, baru setuju, "Boleh. Set udah siap, lo pada tinggal naik ke panggung. Kita mulai scene satu."

Aba-aba barusan mempercepat gerak kru belakang layar lainnya untuk segera merapikan properti, tapi tim wardrobe belum saatnya memakaikan kostum jika hanya sekadar latihan begini. Dawai dan Karin bergegas menuruti titah Ken, mereka kini berdiri berhadapan di atas panggung, ada tatapan intens bertukar, dan ada degup jantung yang masing-masing mereka tahan ritmenya.

"Okay! Camera roll action!"

Teriakan Ken menjadi pertanda bahwa ini saatnya Dawai dan Karin terhanyut dalam peran mereka—Dawai sebagai si pangeran dan Karin sebagai si rakyat jelata. Latar merupakan tengah hutan dekat sungai, sehingga ada suasana alam yang begitu syahdu. Di adegan pertama ini, Dawai sudah harus bisa menangis, jadi semua orang di sini sedang menantikan apa dia akan berhasil atau malah gagal. Sementara Karin bersiap memangkas jarak, ia yakinkan diri bahwa aktingnya bisa memuaskan dan tidak akan mengecewakan.

Satu. Dua. Tiga. Ken menunggu Dawai membangun emosinya dan terjun ke karakternya. Sesegera mungkin karena dia tak pernah mentolerir untuk kesempatan kedua. Ia memperhatikan ekspresi Dawai, raut sedihnya, mimik kecewanya, sudah on point, dan demi apapun anak baru sepertinya layak dapat pujian.

"Kau ke mana saja?"

Dawai memulai dialog pertamanya. Air matanya belum juga merebak di pelupuk.

"Aku membutuhkanmu setiap kali malam dengan purnama berlalu."

Dialog kedua Dawai mengubah intonasinya serupa racauan parau, tatapnya memelas, wajahnya mengiba, ia genggam kedua tangan Karin semakin erat—dan dia bayangkan bagaimana perasaan terkhianati ini menguasai ketika teringat bagaimana ibunya menolak dirinya.

Ken terkesiap, begitu pula anak-anak lain yang berdiri di belakangnya saat sebulir air mata pertama Dawai hadir; membasahi pipinya, meninggalkan jejaknya. Kemudian, disusul tangis sejadi-jadinya, dia mulai larut, dia mulai masuk, dan semua orang jadi terpukau.

"Gilak," bisik Rhea, si antagonis yang muncul di adegan keempat nanti, "Keren banget Dawai. Lo ngga salah rekrut, Ken."

Ken akui Dawai memang berhasil mencuri perhatian di sini, tapi dia seketika khawatir—bila anak itu jago akting begitu, apakah ada kemungkinan dia juga akan membohongi publik nantinya? Tidak. Ken hanya berpikir terlalu jauh, dia hanya berprasangka buruk bila suatu saat Dawai mempermainkan Levra.

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang