Tumben sekali Levra minta dijemput, padahal biasanya pulang pergi bersama Ken, si tetangga. Jadi, Kenaka di sini, kembali menunggui adik perempuannya keluar dari gedung sekolah dan melewati gerbang itu. Namun, ketika ia baru duduk di atas bumper mobil, Ken justru menemukan Dawai. Maka, ia buru-buru menghampiri pemuda yang baru berkenalan dengannya tempo hari lalu.
"Wai," sapa Ken, masih tampak ramah seperti biasa, "Ketemu lagi kita."
Dawai sempat terkejut, tapi rangkulan Ken ini jadi menenangkannya, "Iya, Bang. Kan gue sekolah sini aja. Pasti mau jemput Levra, ya? Udah kelar dia, paling bentar lagi keluar."
Ken mengangguk sekilas, lalu malah teringat pada Baran yang pernah dia lihat berinteraksi dengan Dawai, jadi dia menanyakannya, "Ngomong-ngomong, lo punya Abang? Pas gue jemput Levra, gue ngga sengaja liat lo ketemuan sama cowo di depan sini juga."
Dawai tahu siapa yang dimaksud Ken, jadi dia tak memungkiri lagi, "Iya, Bang. Abang tiri. Kenapa? Kenal? Namanya Baran."
Ken spontan menjauh, ia tak sadar sudah sibuk dengan pikirannya sendiri sambil bergumam asal, "Baran. Gue ngga salah ngira berarti," Namun, saat Dawai menyentuh bahunya, ia jadi berjingkat kaget, "Eh, iya. Gue kenal. Tapi, Abang lo itu udah lama ngga muncul di tongkrongan kita."
Di sela benak Dawai yang berkecamuk memikirkan berbagai kemungkinan soal Baran, Levra ternyata sudah muncul di antara mereka. Ia jadi reflek tersenyum saat gadis itu juga memberinya senyuman—mereka sudah baik-baik saja sekarang.
"Loh, Abang kenal temen Dedek?"
"Kenal lah, kan circle gue ngga ama tetangga doang," sindir Ken, lalu melirik Dawai, "Wai, lo sibuk ngga abis ini?"
"Lah, mau diajakin ke mana anak orang?"
Ken jadi gemas dengan segala respon Levra, "Protes mulu lo, ah. Gue laper. Makan dulu, yuk? Mau ngga?"
"Eh, iya. Dawai juga kebetulan ngga bawa motor, kan, hari ini?" Levra mengompori, berharap Dawai akan memenuhi ajakan itu, "Lo ngga ngelesein siapa-siapa, kan? Lo ngga ada tugas jaga perpus, kan? Lo udah hapal naskah, kan?"
"Buset," Ken menggeleng beberapa kali, "Lo stalking kegiatan Dawai, ye? Tiati, Wai. Levra kalo udah kesengsem—mmphh!" Ia gagal melanjutkan sebab Levra sudah berjinjit sambil membekap mulutnya.
"Mau ngga, Wai?"
Dawai tersenyum, sepintas memandangi wajah Levra yang tetap berseri meski dibanjiri peluh itu, jadi dia juga asal mengangguk, "Boleh, deh."
"Yes! Ayo, Bang!"
Setelah Ken terlepas dari bekapan Levra, ia pun mengisyaratkan Dawai untuk ikut naik ke mobilnya sekalian.
***
Setelah pertikaian tadi siang, Kenzal benar-benar tidak punya mood untuk bicara ke siapapun, termasuk Levra. Entah mengapa, dia benci mendapati reaksi Levra ke Dawai, padahal itu merupakan respon sewajarnya. Yah, mungkin dia memang keterlaluan sudah memercik api duluan, tapi tetap saja ini pertama kalinya Levra menolak bantuan darinya. Bertahun-tahun mereka saling mengenal, Levra selalu mengandalkan dirinya, Levra selalu bergantung padanya, tapi hari ini—dia bilang, enggan urusannya dicampuri.
"Ngga jelas, padahal gue cuman mau mastiin traumanya ngga kepicu lagi, tapi dia lebih milih dengerin omong kosongnya Dawai?" Ken bergumam sambil memandangi jendela kamar Levra di seberang sana, "Posisi gue udah kegeser, kah? Beneran lo udah ngga butuh gue, Lep?"
Ketika Ken memutuskan untuk merebahkan diri di ranjang, dia malah mendengar deru mesin mobil Kenaka. Begitu dia amati lebih lanjut, Levra turun dari sana, masih dengan seragam melekat di badan, tapi dengan senyuman sumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...