Dawai tadinya mau mengantar Levra sampai di depan rumahnya, tapi begitu dia tahu fakta bahwa Ken ternyata tetangganya—ia pun tidak jadi menawarkan sampai sejauh itu. Malam ini, sudah jam sepuluh, dan Dawai tahu dia sangat terlambat untuk pulang. Tentu bukan karena kerja kelompoknya saja, tapi dia baru selesai bantu-bantu di toko Mamanya juga.Alhasil, Dawai jadi ragu untuk mengetuk pintu.
Selain karena Baran—Kakak tirinya itu kemungkinan besar belum sampai rumah, dia juga bisa memastikan kalau Ayahnya pun belum pulang kerja.
Ternyata benar, setelah ketukan ketiga, pintu itu tak kunjung terbuka.
Jadi Dawai memilih untuk duduk saja di teras, sekalian menunggu entah Kakak atau Ayahnya yang akan pulang duluan. Tapi tidak, Dawai tidak bisa hanya menunggu sebab dia punya tugas-tugas yang diberikan guru Kimia dan guru Biologi di kelas tadi dan kesemuanya harus dikumpul besok.
Ketika Dawai sudah larut dalam materi-materi sains itu, ia bahkan tak sadar kalau Baran sudah memarkirkan motornya di garasi.
“Kelayapan mulu lo. Kenapa ngga sekalian tinggal di komplek pelacuran Nyokap lo?”
Dawai berjingkat sebentar sebelum mendongak demi menemukan Baran bersedekap dengan sikap angkuh seperti biasa. “Kak, Ayah ternyata belom pulang. A—aku besok mau gandain kunci biar ngga nunggu—”
“—jangan ngalihin.” desis Baran, tajam. “Ya bener, ngapain lo nunggu kita si pemilik rumah padahal jelas-jelas lo harusnya ngga tinggal di sini?”
Dawai menutup buku-bukunya sebelum berdiri menghadap Baran, “Sori kalo aku ngerepotin atau ngeganggu Ayah sama Kakak, tapi aku sendiri juga ngga ngerti kenapa aku harus di sini. Kak, plis, idup dengan dianggep beban sama Ayah dan Kakak itu ngga enak—”
“—ya kan lo bisa pergi aja dari sini—”
“—anak SMA kaya aku bisa apa, sih, Kak? Aku belom punya penghasilan—”
“—ya karna Nyokap lo ngga mau nampung anaknya sendiri, kan?”
Dawai jadi tertegun, tapi sekejap itu dia mengesah pada dengusan Baran, “Kalo udah waktunya, aku pasti bakal keluar dari rumah ini, aku pasti ninggalin Ayah sama Kakak dan ngga jadi benalu di sini lagi. Tapi aku butuh waktu, Kak, aku mohon biarin aku tinggal sementara sebentar aja. Aku janji, aku bakal berterima kasih sama kalian nantinya.”
“Halah.” Baran justru mengibas tangannya, acuh. “Bodo, ah.”
Dawai memejam saat Baran beralih pada pintu rumah, memutar kuncinya, dan masuk ke sana.
***
“Lo ngidam apa gimana?”
Levra cengengesan saat Kenaka—Abangnya—sengaja membanting kotak martabak manis pesananannya di meja depan tv. Begitu Levra beranjak dari sofa dan membuka bungkus camilan kesukaannya itu, matanya sudah berbinar.
“Ini jam dua pagi, loh.”
Levra hanya mengangguk-angguk sebab dia sudah asik mengunyah rasa manis itu di mulutnya.
“Heh, bener-bener kek kecanduan lo ama martabak—”
“—ya, Abang, pulangnya pagi-pagi mulu. Kan sekalian Dedek nitip.” sergah Levra, membela diri. “Abang dari mana, sih?”
“Heh, Papa sama Mama aja ngga nanyain gue dari mana—”
“—ya, abisnya Abang aneh. Pulang malem teros, mana mesti pake motor yang gede. Dih, Abang balapan, ye?”
Tuduhan Levra itu hanya bisa Ken balas dengan sebuah gelengan, lalu dia melepas jaket kulitnya dan sengaja melemparnya ke wajah Levra.
“Abang—”

KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Roman pour AdolescentsJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...