Ken menyusul Levra dan Zao di perpustakaan, seperti janjinya tadi pagi. Dengan dua cup es cokelat—yang diam-diam Ken sembunyikan di balik jaketnya, sebab sudah jelas di tempat ini ada larangan makan dan minum—dia akhirnya menemukan sobat-sobat perempuannya itu di salah satu meja dekat jendela.
"Nongkrong doang lo pada di sini, menuh-menuhin tempat aje."
Levra dan Zao serempak mendongak pada sosok tinggi tegap Ken yang sedang menyodorkan masing-masing minuman itu, lantas memperhatikannya sampai benar-benar duduk di hadapan mereka.
"Gocengan. Kaga gratis itu, ye."
Zao mencebik, "Orang pelit biasanya kuburannya sempit."
"Amin." Levra asal mengamini, tapi dia tak peduli apa-apa lagi selain menyeruput minumannya.
Zao mendengus, "Ntar kalo lo duluan ngadep Tuhan, kaga gue bantu pemakaman lo, loh."
"Iye, ntar lo gali kuburan lo sendiri." Levra tertawa tepat setelah menemukan wajah tertekuk Ken. "Tiati."
"Ya elah, gue ngomong sekecapan doang, balesannya udah nususk-nusuk ati. Emang dasar duo nenek lampir lo."
Levra dan Zao sempat saling melirik, lantas keduanya malah tergelak bersamaan, sengaja mengabaikan Ken, yang memang tidak ada niatan serius untuk menagih angka lima ribu dari saku teman-temannya itu.
"Btw, Dawai jadi dateng nemuin lo buat seleksi?"
"Iye. Jadi." Ken berpikir sebentar, sengaja membuat Levra menunggu jawaban dari pertanyaannya barusan sebab dia perlu mengingat kembali bagaimana bisa meloloskan Dawai semudah tadi? "Mana dia beres-beres ruangan yang berantakan itu juga,"
"Buset. Punya bakat jadi cleaning service juga jangan-jangan,"
Ken tersenyum simpul, berusaha memahami gurauan Levra.
"Terus, gimana?"
"Apanya?"
"Aktingnya."
Ken memicing pada desakan Levra, sebelum akhirnya mengedikkan kedua bahunya, "Yah, lumayan, makanya gue terima tadi."
"Serius? Dawai bisa akting?" Kali ini, yang menyahut adalah Zao. Semula dia memang hanya mencerna obrolan teman-temannya, tapi setelah dia paham dia justru tidak bisa menyembunyikan pekikan antusiasnya. "Gila! Keren banget. Diam menjadi pemalu, bergerak menjadi totalitas."
"Apaan, sih? Ngga nyambung, Za." Levra berdecak, lalu memberi sikutan kecil di rusuk Zao, bermaksud bercanda. "Akting apaan emang? Marah?"
"Nangis."
Zao dan Levra jadi kompak membolakan mata mereka, lalu bersamaan berseru, "Nangis?"
Ken mengangguk, "Iye, nangis. Beneran itu anak bisa nangis, bener-bener nangis. Sumpah, dah."
Memang bukan hanya Ken yang takjub, tapi Levra dan Zao pun juga sama terkejutnya. Selama ini, semingguan ini, mereka sekelas hanya mengenal Dawai sebagai anak baru yang hobi menyendiri dan kurang pandai bergaul, tapi tahu-tahu saja dia punya bakat akting yang jelas-jelas berbanding terbalik dengan kepribadiannya.
Dawai itu misterius—Levra selalu membenarkan anggapannya tentang teman sebangkunya itu.
***
Bel pulang sekolah berbunyi setelah semua siswa di kelas ini merasa bosan dengan penjelasan Pak Biban—si guru Sejarah—yang hobi mendongeng di depan sana. Termasuk Levra yang sudah menguap berkali-kali tadi, tapi Dawai sama sekali tak memindah atensi ke mana pun selama dua jam penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...