Bab Tiga

118 23 9
                                    


“Lo mau pindah bangku?”

Dawai reflek menoleh pada asal suara. Tadinya dia duduk di bawah pohon ini hanya untuk merenung sendirian, tapi ternyata Zao bisa menemukannya.

“Kenapa? Kenapa gue harus pindah?”

Zao tidak menumbuk tatapannya dengan manik mata Dawai, karena dia hanya sanggup memandangi rerumputan hijau di depannya sana. Tapi dia bergumam, “Karna Levra. Dia emang ngga bisa ketemu orang baru selain gue sama Ken. Dia paling benci dideketin dan diakrabin sama orang yang ngga dia kenal baik. Dia juga ngga segan-segan nunjukin kenggasukaannya itu, terang-terangan. Jadi gue tau, lo pasti tersinggung sama sikap dia.”

“Gue udah biasa.” kata Dawai, nyaris termakan nada putus asa. “Lagian, wajar. Kan gue anak baru, orang asing, masa tau-tau nyelonong?”

Zao terdiam, dia bergeming seketika. Tapi kali ini, matanya tertuju pada sisian wajah Dawai, lamat-lamat ia perhatikan. “Kenapa lo pindah dari Petra? Bukan karna lo dibully, kan?” Zao berpikir demikian sebab dia bisa menilai kalau Dawai bukan merupakan tipikal yang mau melawan kalau disakiti—atau mungkin hanya anggapannya saja.

“Kejauhan, Za.”

“Apanya?”

“Kejauhan kalo lo mau tau sampe situ,” Lantas Dawai beranjak, ia sempat membersihkan bagian belakang celananya, sengaja menghempas bekas tanah itu agar tak menciptakan noda. “Gue duluan, ya.”

Sepeninggal Dawai, Zao malah tertegun. “Emang sesalah itu nanya alesan dia pindah sekolah? Orang-orang jaman sekarang beneran sensitip banget, heran.”

***

Ken mengusulkan untuk kerja kelompok di Starbucks saja, jadi Levra, Zao, dan Dawai—yang sebenarnya masih ragu menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk segelas kopi—setuju. Mereka berempat bahkan masih menyempatkan waktu untuk sekali lagi berdiskusi di lapangan parkir sekolah sambil menghadap motor Ken dan motor Dawai—sengaja melupakan perseteruan dan perdebatan tentang anggota kelompok kemarin, juga tentang persitegangan Zao dan Levra yang tahu-tahu saja sudah mencair lagi.

“Lo tau jalan ke tempatnya, kan?”

Levra mengangguk antusias untuk menjawab pertanyaan Dawai barusan, “Jangan ngeremehin gue lo. Harusnya lo bersyukur gue udah bolehin lo gabung kelompok gue. Lagian, lo gue bolehin gabung juga biar hemat transportasi. Kan ngga mungkin kita bertiga di satu motor, mana motornya Ken, motor laki gitu.”

“Lo kalo ngga mau gue gabung juga ngga papa, kok.”

Dawai memang serius tanpa tahu bahwa Levra bermaksud bercanda. Jadi Ken menahan amukan Levra dengan sebuah rangkulan singkat di bahunya, lantas berujar, “Lo bareng Dawai beneran, Lep? Lo kan ngga bisa baca google maps.”

“Jangan cari masalah lo, Ken.” Bukan Levra yang membela dirinya sendiri, tapi Zao. “Udah, buruan. Mendung, nih.”

“O, jangan pegang-pegang pinggang gue, ya.”

“Najes. Pede banget lo.”

Kemudian Ken mengajak Zao menuju motornya, mereka berboncengan, sedangkan Dawai kikuk memberikan helm pada Levra.

“Mm, lo ikutin motor Ken aja.”

Dawai mengangguk sekilas, “Iya, gampang.”

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang