Seumur hidupnya, Dawai tidak pernah menangis. Mungkin pernah, tapi tidak sekeras ini. Meski didera tiupan angin, ia biarkan kedua mata sembabnya mengering sendiri. Dia juga meremas kuat-kuat setir motornya, sesekali menginjak gas terlalu dalam, sesekali lagi mengerem terlalu mendadak. Dawai baru tahu bahwa ditolak seperti ini terasa sangat menyakitkan, terlebih oleh ibu sendiri, bukan seorang perempuan.
Entah kenapa, Dawai yakin dia tidak bisa mengelesi malam ini. Makanya, dia berbelok ke sebuah halaman kosong; jauh dari hiruk-pikuk manusia lain, hanya ada rerumputan dingin dan langit penuh bintang.
Sembari berjalan ke tengah sana, Dawai berusaha meredakan kekecewaan hatinya, ia mengelus dada beberapa kali, ia juga hapus air matanya berkali-kali.
"Gue aja ngga tau Bokap kaya gimana bentukannya," Dawai lantas bermonolog, baru mendudukkan diri sambil meluruskan kedua kakinya, "Terus, masa gue kudu nyalahin Nyokap?"
Terkadang, Dawai yakin bahwa ketidakadilan hanya menimpa kehidupannya saja. Semua yang dia lakukan tidak pernah terasa benar, semua orang selalu melihatnya dalam liput kesalahan. Termasuk saat hari-harinya dulu di Petra.
"Jadi, selama ini kita temenan sama anak haram? Mana Nyokapnya ampe sekarang masih ngelacur lagi. Tarifnya berapa, nih? Bisa gue sewa ngga?"
Dawai menepis rangkulan Zian dan berakhir memukul rahangnya hingga laki-laki itu tersungkur di lantai. Belum puas sampai di situ, Dawai hilang kendali, dia tidak peduli teriakan-teriakan teman sekelasnya yang menyuruhnya berhenti, dia sudah kepalang membabi buta menghajar Zian sampai babak belur.
"Jangan—" Dawai memenggal, kemudian satu pukulan melayang lagi di wajah Zian, bahkan ketika dia duduk di atas perut Zian, tidak ada kata berhenti dalam kamusnya, "—sekali-sekali lo ngehina Nyokap gue! Sekalipun Nyokap gue emang pelacur! Sekalipun Nyokap gue emang jual diri! Kupu-kupu malam! Perek! Hah? Apalagi sebutannya?!"
Dawai mengamuk, dia benar-benar murka sekarang. Tidak peduli jika Zian sudah tak sadarkan diri di bawahnya, dia sudah seperti kesetanan, kerasukan, kesurupan, apapun itu yang mereka sebutkan. Tanpa butuh balasan Zian lagi, akhirnya Dawai berdiri dan melempar tatapan tajam ke anak-anak lain yang mengerubunginya.
"Siapa lagi yang mau ngehina Nyokap gue? Ada yang mau nantangin? Ada ngga?!"
Seketika itu, nyali mereka semua menciut, tapi sakit hati yang Dawai rasakan masih membekas enggan pergi.
"Siapa lo pada sampe bisa ngehina Nyokap gue? Ada yang ngerugiin lo? Ada ngga?!"
Mereka yang mengerubunginya, menggeleng serempak.
Setelah itu, Dawai putuskan untuk membolos, tidak peduli kalau dia berpotensi dikeluarkan karena hampir merenggut nyawa Zian.
"AAAAARGHHHHHH!"
Dawai hanya bisa berteriak lantang jika dia berada di sini. Tidak ada orang yang tahu seterpuruk apa dirinya saat ini, seberantakan apa mentalnya saat ini, dan selelah apa fisiknya saat ini. Berulang kali, Dawai ingin menyerah, tapi dia tidak yakin sudah berbuat baik selama hidup di dunia. Karena jika dia mati nanti, dia hanya ingin hidupnya membaik, jauh lebih baik dari ini.
"Mama kenapa ngga bisa tulus sayang sama gue, sih?"
Dawai menutupi wajahnya, kemudian jemarinya bergerak untuk meremas rambutnya—ia frustasi, ia depresi, bagaimana bisa dia melewati semua kesulitan ini seorang diri?
"Anak SMA bisa-bisanya nongkrong di sini? Biasanya kan di warkop atau kafe."
Dawai spontan berhenti merutuki hidupnya—kenapa tiba-tiba ada orang yang menemukan tempat bersembunyinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...