Pelajaran telah usai, sekolah pun hampir kehilangan seluruh penghuninya. Namun, di gimnasium, Levra dan Zao masih berlatih cheers. Dawai tidak sengaja lewat setelah merapikan buku-buku di perpustakaan. Anehnya, Ken tidak di sekitar kedua sahabat perempuannya itu. Hari ini juga Ken membubarkan kegiatan teater satu jam lebih awal.Maka, Dawai berjalan pelan hingga dia duduk di salah satu sudut tribun. Sembari memandangi Levra, sepintas ingatan tentang pelukan gadis itu secara nyata rupanya masih terperangkap. Lebih dari sentuhan. Dawai menggeleng. Dia mungkin berhalusinasi, karena Levra belum sesembuh itu dari traumanya.
Belakangan ini, Dawai tak merasa baik-baik saja. Keluhannya masih sama seperti terakhir kali mengadu pada Levra. Kepalanya penuh, serasa ingin pecah.
"Dawai!"
Seruan Levra akhirnya membuat Dawai tersadar kembali. Dia dapati gadis itu melambai antusias, pun dengan senyum sumringah Zao yang turut menyapanya. Sepertinya, latihan mereka telah usai. Begitu kerumunan dibubarkan, Zao dan Levra serempak menghampirinya.
"Tumben lo ke sini," ujar Zao sambil meneguk habis air dari botolnya. "Anak teater bukannya lagi ekskul juga?"
Dawai menggeleng, tapi tatapnya tak menuju Zao, melainkan menetap di Levra. Zao terdiam pasti, ini seperti bukti nyata bahwa perasaannya ke laki-laki itu sudah tak ada harapan.
"Ken ada urusan katanya," balas Levra alih-alih Dawai. "Tadi bilang ke gue pas bubaran kelas, mau pulang cepet dia."
Dawai jadi seketika berbinar. Secercah harapan ada di depan matanya. Sehingga dia refleks menyahut, "Berarti lo pulang sendiri?"
"Iya. Zao juga nggak bisa nganter gue pulang, kan? Lo katanya mau ke RS jengukin temen bokap lo yang sakit, kan?"
Zao membenarkan. "Yap. Soalnya, gue udah ditungguin bokap gue di sana. Masalahnya, temen bokap gue ini juga lumayan deket sama keluarga gue. Sering juga beliau beliin gue mainan pas gue kecil dulu." Kali ini, Dawai menyimak penjelasannya, sedikit banyak menimbulkan debaran tak kasat mata itu lagi.
"Makanya, jangan sampe lo nggak jengukin. Nanti dibilang anak nggak tau terima kasih, loh. Gue bisa pulang sama Dawai aja."
Zao mengangguk beberapa kali seraya memaksakan sebuah kerlingan. "Gue nitip Levra, ya. Kalo mau jalan-jalan, jangan pulangin dia malem-malem, Wai. Abangnya galak."
"Abang Ken nggak galak, kok," cetus Dawai yang mengingat sosok Kenaka sebagai orang paling berjasa yang membantunya menyadarkan Baran. "Tenang aja, Za. Lo ati-ati, ya."
Zao hampir menyahuti, tapi urung sebab perhatiannya teralih ke Dawai yang sigap membantu Levra memasukkan barang-barangnya ke ransel.
"Za, ganti baju dulu, yuk. Gerah gue," ajak Levra, sekejap kemudian menggamit jemari Zao. "Wai, lo tunggu di parkiran aja. Gue nggak lama."
Tanpa sempat menyetujui, kedua perempuan itu sudah berderap menuruni tribun dan menjauh dari gimnasium. Sudah sepi di sini, tapi Dawai belum mau pergi ke parkiran.
Kepalanya masih terasa penuh, padahal hatinya mulai berbunga.
"Mau PDKT kayak gimanapun, juga nggak bakal berhasil, Wai. Mana mau Levra punya pacar yang ibunya seorang PSK."
Monolog Dawai barusan justru semakin menghancurkan mentalnya sendiri.
***
"Selain martabak manis rasa cokelat, lo suka apa lagi, Lev?"
Levra menerawang langit mendung di atas kepala sambil menyeruput es jeruk dalam plastik yang tergenggam di tangannya ini. Dawai tahu betul kalau dia masih haus, jadi tiba-tiba saja mereka sudah menongkrong di salah satu starling.
![](https://img.wattpad.com/cover/319227151-288-k293435.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Fiksi RemajaJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...