Bab Sembilan

73 6 3
                                    

"Iya, jadi Reo udah bisa kan rumus ini? Gampang?"

Reo—bocah SD—itu mengangguk bersemangat, sehingga Dawai jadi bisa mengulas senyum bangganya.

"Kalo gitu, ujian buat besok udah pasti bisa ngerjain, kan?"

Reo mengangguk lagi, "Bisa kayanya, Kak. Tapi kalo udah hari H biasanya suka ngeblank. Iya ngga, sih?"

"Yah," Dawai pura-pura mengesah, "Rugi, dong. Masa kita belajar malem-malem gini, tapi Reo malah pesimis gitu."

"Hm, ya udah, besok Reo kabarin Kakak, ya. Kalo Reo bisa ngerjain, berarti nilainya aman. Kalo Reo ngga bisa ngerjain, udah pasti nilainya ngga bisa diselametin." Karena kalimat polos itu, Dawai jadi tergelak seketika. "Malah diketawain, sih, Kak?"

"Bukan." Dawai akhirnya berhenti tertawa, sejenak menatap lurus-lurus mata Reo, lalu beralih memegangi kedua bahu murid lesnya ini. "Gagal atau berhasil, ngga masalah, kok."

Reo justru memiringkan kepalanya, "Ha?"

"Iya. Kan yang terpenting bukan itu, yang penting prosesnya, dinikmati. Kaya Reo, dari ngga bisa jadi bisa. Seneng, kan?"

Reo antusias mengangguk, "Iya, ya. Ya udah kalo gitu nilai mah urusan belakang."

"Ya tapi, ngga segitunya ngegampangin juga, Re." Seorang wanita paruh baya bergabung dengan Dawai dan Reo di ruang tamu, lantas meletakkan secangkir teh hangat di mejanya sana—tentu untuk guru les anak tunggalnya ini. "Kasian kan Kak Dawai, udah ngajarin kamu susah-susah, tapi yang diajarin malah bodo amat gitu." Dia Yasmin, Ibu Reo, yang sangat ramah, yang begitu lembut. "Eh, diminum, Kak Dawai."

Dawai buru-buru mengulas senyum, "Makasih, Bu." Kemudian, ia membiarkan jari-jarinya melingkar di cangkir teh buatan Yasmin itu. "Tapi, Reo udah ada kemajuan, kok, Bu. Ngga papa, sih, pelan-pelan aja, nanti lama-lama pasti bisa pro."

"Tuh, denger. Mama aja yang keburu parno."

Yasmin jadi menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah lazim mendapati tabiat Reo yang memang ajaib. "Ya udah, pamitan sama Kak Dawai, kasian udah kemaleman ini. Biar Kak Dawai pulang, kamunya cepet tidur, Re."

"Oke, biar ilmunya ngga menguap lagi, Ma."

Dawai pun buru-buru meletakkan kembali cangkir teh itu saat Reo meminjam tangannya untuk dia salimi, "Ngerjainnya ngga usah buru-buru, ya. Kalo temen Reo ada yang keluar kelas duluan, biarin aja, jangan panik. Ya?"

"Siap, Kak!" Reo memasang sikap tegap sambil menggesturkan hormat di samping keningnya. Kemudian, balas tertawa. "Kakak ati-ati di jalan, ya! Reo mau tidur duluan!"

Dawai mengangguk berkali-kali seraya mengiringi kepergian Reo menuju kamarnya, jadi di sini tertinggal dia dan Yasmin berdua saja. "Ngga papa, Bu, Reo udah ada kemauan belajar, kok, tinggal diasah aja."

"Iya, saya udah paham gimana Reo, Wai."

Akhirnya, karena teh di cangkir itu sudah menghangat, Dawai pun bisa menyeruputnya sampai tandas. "Oh, Bu, saya pamit, ya. Makasih tehnya."

"Iya, kapan-kapan saya bawain makanan, ya, Wai."

Karena Dawai merasa tak nyaman untuk terus merepotkan Ibu Reo ini, jadi dia menggeleng beberapa kali, dengan keras menolak. "Aduh, ngga usah, Bu. Ngapain pake gitu-gitu segala, sih, Bu? Udah, jangan kaya gitu, ya?"

Yasmin hanya bisa berdecak sembari mengantar Dawai sampai pagar rumahnya, lalu saat Dawai sudah mengenakan helm dan menyalakan mesin motornya, ia berseru, "Bayaran Dawai minggu ini udah saya transfer, ya."

Dawai reflek menoleh, ada senyum berseri, ada mata berbinar, di wajahnya yang tak mampu menyembunyikan kebahagiaan. "Beneran, Bu? Wah, makasih, Bu! Ibu masuk aja, dingin di luar sini. Saya abis ini juga berangkat, ngga usah ditungguin."

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang