Bab Sebelas

72 7 2
                                    

Upacara. Hari Senin selalu menjadi hari yang paling Levra benci karena dia tidak suka berdiri terlalu lama di bawah terik matahari. Ya, semua orang mungkin punya alasan yang sama dengannya terkait upacara dan hari Senin. Levra berbaris tepat di belakang Ken, hingga postur tinggi tegap itu mampu melindungi dirinya dari panas.

"Hormat, Lep," ujar Zao, yang sengaja mengingatkannya dari samping kanan sebab Levra malah melamun, "Jangan sampe lo pura-pura pingsan lagi, ya."

Levra terkekeh, baru menuruti Zao, dia kini hormat menghadap bendera yang hampir mencapai puncak tiang, "Kaga. Orang Ken udah nutupin mataharinya, mana ada alesan buat pingsan?"

"Tapi, anak-anak paduan suara hari ini nyanyi Indonesia Rayanya lemes amat," komentar Zao, seraya berjinjit demi bisa mengintip lewat bahu teman-temannya, "Ngga kedengeran."

Levra baru mau menimpali, tapi Ken tiba-tiba saja menoleh ke belakang sambil berdesis pelan, "Lo pada berisik banget, dah. Emangnya lagi arisan? Udah diem. Bentar lagi juga kelar ini upacara. Tahan bentar," Lantas, dia sengaja menamatkan tatapan lebih lama menuju Levra dibanding Zao, setelah itu kembali menghadap depan.

Ketika Levra dan Zao sama-sama menukar cebikan, bendera pun berhasil dikibarkan bersamaan dengan usainya nyanyian Indonesia Raya dari tim paduan suara. Namun, saat Kepala Sekolah mereka dipersilahkan naik ke podium dan mulai memberi sambutan, Levra justru melayangkan ingatannya ke masa lalu—ke sosok Ray yang malam minggu kemarin tak sengaja ia temui setelah perlahan traumanya hampir sembuh.

"Percaya ngga kalo cewe sama cowo itu ngga bisa sahabatan?"

Ray dan Ken sama-sama mengangguk, keduanya juga tak bisa melepaskan tatapan dari Levra yang sedang menikmati es krimnya. La Convetie adalah kedai langganan mereka bertiga, yang selalu menjadi markas berkumpul seusai pulang sekolah. Selain karena letaknya yang tidak terlalu jauh, semua es krim yang disajikan di sini juga cukup terjangkau. Namun, lebih dari pada itu, Ray dan Ken tidak bisa menolak setiap permintaan Levra, biarpun mereka bilang bisa diabetes jika terus-terusan menyantap yang manis-manis, Levra tetap mengajak mereka ke sini.

"Ih, terus apa pernyataannya? Masa cuman iya doang?" Levra tidak sadar telah menyisakan noda es krim di sudut bibirnya, tapi sebelum Ray dan Ken berniat menghapus noda itu, Levra malah lebih dulu mengusapnya dengan tisu, "Ngapain? Kita ngga lagi syuting ftv, ya. Gue juga bisa kali ngapus noda cemong gue."

Ray dan Ken sama-sama menukar tawa kikuk.

"Kalo lo tiba-tiba nanya gitu, apa artinya lo ada rasa sama salah satu dari sahabat lo ini?"

Levra melebarkan matanya saat Ray berhasil menebak perasaannya, tapi dia tetap berusaha menyangkal, "Sok tau. Kan gue cuman nanya pendapat lo pada."

"Yah, kalo pun bukan cuman nanya pendapat, bukannya lebih baik jujur sama perasaan sendiri, kan?" Ray terus menggoda, dia suka mendapati kedua pipi Levra yang merona, tersipu malu, "Jadi, orangnya gue atau Ken?"

"Sembarangan," Levra memberengut, sedikit banyak salah tingkah, dan segera menjauhkan cup es krimnya ke tengah meja, "Gue ngga bisa pacaran sama sahabat sendiri."

"Kenapa?" Kali ini, Ken berani menyumbang suaranya, "Gue bukan sahabat lo doang, gue juga tetangga lo, tau," Kemudian, dia tergelak sendiri saat wajah Levra berubah panik, tampak begitu terkejut dengan pernyataannya barusan, "Bercanda, elah. Mana ada gue suka sama cewe seurakan lo?"

"Syukur, deh," Levra akhirnya meloloskan napas yang sejak tadi ia tahan, "Gue ngga bisa bayangin gimana nolak lo soalnya, Ken."

Di sela kekosongan yang Ken rasakan setelah ungkapan Levra barusan, Ray tiba-tiba saja meninju lengannya, dia terbahak bersama Levra, suasana ini hanya terasa canggung bagi Ken seorang.

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang