Semula Zao ingin mengajak Dawai untuk mengerjakan laporan astronomi di kafe depan sekolah, tapi entah bagaimana mereka malah berakhir di perpustakaan—lagi. Kini, Zao duduk berhadapan dengan Dawai, dia bahkan tak luput memandangi wajah simetris itu; mata bulat cerahnya, hidung mancung sempurnanya, dan bibir berbentuk hati yang sedikit banyak menggemaskan. Namun, dia buru-buru menggeleng sekaligus menepis semua anggapan dalam benaknya—dia tidak mungkin terpikat semudah ini.
"Za, lo bisa cariin referensi lengkapnya planet-planet terluar ngga? Cari jurnal peneletiannya gitu—" Dawai berhenti menulis sebab tiba-tiba merasa risih, ternyata Zao tengah memandanginya tanpa berkedip. Demi apa pun, tak dia pungkiri, dipandangi begitu membuatnya salah tingkah. Jadi, dia berdeham kikuk, "—uh, Za? Lo denger apa kata gue, kan?"
"O—oh, iya."
Zao tersadar, dia bahkan perlu sedetik untuk mengusap wajahnya agar tak melulu mendapati bayang Dawai; yang ternyata menghancurkan fokusnya, yang ternyata mengalihkan atensinya. Maka, dia sigap mengetik sesuatu di laman pencarian komputer hingga matanya tidak lagi terarah ke Dawai.
"Cari berapa? Satu? Dua?"
Dawai berpikir sejenak, "Kalo bisa sebanyak-banyaknya. Sori, ya."
"Lah," Zao reflek terkekeh, "Ngapain minta maap? Kan kerjaan gue, kan bagian gue. Masa iya gue terima jadi doang?"
Kemudian, tidak banyak obrolan tertukar setelahnya. Dawai terlarut dalam catatannya, sedangkan Zao tenggelam di internet. Namun, mereka sama-sama memikirkan satu hal yang bukan sama sekali mengenai laporan astronomi ini.
"Lo suka Levra, ya, Wai?"
Dawai seketika menegang, tapi dia berusaha tetap tenang, "Hah? Kok lo bisa nyimpulin gitu?"
"Keliatan, tau. Mulai dari perhatian lo sampe kekhawatiran lo. Puncaknya, yang paling gue ngeh, pas di pestanya Karin."
"I—itu cuma sebagai bentuk dari temen untuk temen, kok."
"Ngga usah ngelak. Gue ngga cepu. Lagian, kalo ngomong lo gelagepan gitu, udah pasti tebakan gue bener. Ngaku, deh."
Dawai mengerjap, bingung sendiri dengan pergantian atmosfer ini. Tapi, entah ada keberanian dari mana, dia akhirnya bergumam, "Ada Ken. Ken juga suka Levra, kan? Lo jelas tau soal itu, Za."
"I did," ujar Zao sambil mengangguk beberapa kali, "Gue ngga bego buat tau perasaan Ken ke Levra, tapi Levra nganggep Ken udah kaya sodara dia. Sepanjang yang gue tau, sebelum mereka berdua temenan sama gue, mereka itu sahabatan sama Ray—iya, dia yang dikeluarin dari sekolah karna mau nyabulin Levra, iya, dia yang ngasih trauma gede sampe Levra harus ke Psikiater. Dan, Levra itu cinta mati sama Ray. Susah banget buat dia move on. Tapi, setelah dia tau Ray ternyata sebusuk itu, kayanya lo sama Ken ada harepan buat ambil hati dia, deh."
Dawai diam, dia hanya sedang mencerna penjelasan Zao. Namun, entah mengapa perasaannya tiba-tiba berubah gugup. Dia enggan tertangkap basah begini, walaupun dia belum mengatakan yang sebenarnya. Hanya saja, Zao seperti punya peran penting untuk menyembunyikan hal ini dari siapa-siapa.
"Gue minta tolong, Za. Jangan bilang ke—"
"—aman. Ini rahasia kita. Gue bakal tutup mulut soal lo suka sama Levra, tapi gue ngga bisa bantu lo buat deketin dia," sambar Zao, mendadak intens menumbuk tatapannya dengan sepasang mata Dawai, "Karna gue udah tau rahasia lo, lo mau tau rahasia gue juga ngga?"
"Mm, semisal itu hal yang ngga seharusnya gue tau, ngga usah—"
"—justru lo harus tau," putus Zao, ada hening menyergap sekian detik sampai akhirnya dia berhasil mengatur napas sekaligus debaran jantungnya, baru mantap berujar, "Jadi, rahasia gue adalah—gue ternyata baru sadar kalo gue suka sama lo, Wai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...