Istirahat pertama, Dawai ke kantin, niatnya hanya untuk membeli camilan, tapi saat sampai di sini, dia malah seketika ingin mundur. Ya, sebab orang-orang ini, semua siswa-siswi berseragam ini, yang memenuhi seluruh sudut, mendadak membuatnya sakit kepala, sampai-sampai; telinganya berdengung, kakinya gemetar, dan keringatnya mengucur.
Dia ingat—dulu, semua orang di Petra mengintimidasinya setiap dia datang ke kantin.
"Wai, hai. Udah hafal, kan?"
Namun, ada Karin, yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan senyum merekah.
"Uh, udah, lumayan."
Karin bersedekap, sengaja memperhatikan anak-anak lain yang berlalu di sebelahnya, baru memiringkan kepalanya pada Dawai. "Lo belom punya temen? Gue kira, lo deket sama Ken."
"Ng, ngga gitu deket, sih." Dawai, pelan-pelan, jadi terbiasa, dia bisa melupakan sedikit demi sedikit memorinya saat semua orang pernah memandangnya rendah. "Gue mau balik kelas—"
"—eh, lo ke sini mau makan, kan?"
Dawai tidak jadi berbalik, tapi mengangguk pada Karin. "Tadinya, tapi tiba-tiba kenyang—"
"—mana ada laper bisa berubah kenyang padahal lo cuman ngisep angin?"
Dawai tertawa kecil, lalu pandangannya malah terarah pada meja tempat Ken, Zao, dan Levra di belakang Karin. "Gue bingung mau makan apa, sih."
"Gado-gado Mang Yayat udah nyoba belom?" Karin tak butuh persetujuan Dawai untuk mengajaknya duduk di samping meja—Ken. "Duduk sini, gue kenalin lo sama makanan-makanan enak di sini—eh, Ken, lagi makan gado-gado Mang Yayat juga, tuh. Oi, Za, apa kabar lo? Masih ngga bisa ngerebut peringkatnya Ken? Santai, dua minggu lagi UTSnya. Mm, Lev, Levra lagi ngga mood kayanya, ya."
Karin memang seatraktif itu, Karin memang seramah itu, tidak heran kalau seantero sekolah selalu menyebutnya princess of the day, sebab setiap hari dia selalu menyapa orang-orang, kenal ataupun tidak kenal.
"Jangan lupa, ntar latian."
Karin mencebik pada peringatan Ken, "Iye, iye. Gue sama Dawai kan pemeran utama, ya masa gue lupa."
"Ya udah sana buruan pesen."
Tapi setelah ujaran Ken barusan, Karin belum mau memindah langkah.
"Rin, lo jadi ulang taun?" tanya Zao, setelah selesai mengunyah batagornya. "Anak-anak kelas gue diundang kaga?"
"Oh, iye." Karin tahu-tahu saja menepuk keningnya, "Gue hampir lupa kalo mau ulang taun."
"Rin, cantik, sih, cantik, tapi kalo udah kena demensia gini kayanya, ngga dulu." gurau Zao, sambil tergelak heboh. "Kapan, sih?"
Karin memberengut sebentar, lalu mengingat-ingat isi undangannya, "Sabtu besok. Tenang, anak-anak kelas lo banyak yang gue kenal, kok, Za. Ken, Levra, Zao, sama—Dawai, mau dateng, kan? Jam tujuh malem, selesenya ngga malem-malem banget. Lagian party kecil-kecilan, kok. Jangan bawa amer tapi, lo pada."
Ken menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tingkah hiperaktif Karin. "Btw, lo cuman undang anak-anak dari sekolah kita, kan?"
Kini Zao dan Levra reflek memberi tatapan tajam pada pertanyaan Ken. Tapi Dawai tahu Ken tak menemukan tatapan itu sampai kemudian Karin mengangguk pasti.
"Iye. Kaga usah parno. Anak-anak yang bukan bagian dari sekolah kita lagi, ngga akan gue undang, kok."
Ken melirik Levra, membiarkan Zao, Karin, dan Dawai jadi pemerhati interaksinya. "Lo mau dateng, Lep?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion [✓]
Teen FictionJika pengidap Pistanthrophobia harus dipertemukan dengan pengidap Psikosis, apakah keduanya bisa menyatu sedekat manusia dan kematian? Tentu tidak ada yang bisa menjamin selain Dawai dan Levra, sebab hanya mereka yang bisa memangkas bentang jarak it...