Bab Sembilanbelas

41 7 0
                                    



"Aduh, Ken. Susah banget, sih? Otak gue udah nggak muat."

Ken menertawakan Levra yang buru-buru menutup semua buku di depannya, lalu bergumam, "Kapan pinternya? Gue udah bersedia jadi tutor gratisan, nih, harusnya lo tunjukin semangat dikit, kek."

"Masalahnya, kita udah belajar dua jam, Ken. Gue pengen nyemil."

Alhasil, Ken beranjak dari sofa lebih dulu, baru mengulurkan sebelah tangannya agar bisa digapai Levra. Kemudian, mengajak gadis itu untuk mengekorinya, "Yuk. Jajan es krim."

"Loh. Ayo!" sambut Levra kelewat antusias sambil menerima bantuan dari Ken, tapi tidak mungkin berlama-lama membiarkan kedua tangan mereka saling bertaut. "Gue traktir."

Begitu mereka sampai di luar rumah Levra, Ken justru yang pertama menyadari kalau Dawai sedang menyalakan mesin motornya di depan rumah Reo.

"Itu Dawai, ya?"

Ken menoleh, sekejap itu mendapati respon Levra yang tampak girang.

"Samperin, yuk!"

Dawai urung melajukan motor saat Ken dan Levra sampai di hadapannya, sehingga dia lepas kembali helm yang sudah melekat di kepala.

"Jam segini lo pada masih berduaan aja?"

Ken sudah membuka mulut, tapi ternyata Levra lebih dulu menyambar, "Kenapa emang? Ken itu tutor gue, gue ini murid dia. Sama kayak lo ngelesin Reo."

"Iya, tau. Tapi, nggak baik, dua orang lawan jenis belum nikah berduaan."

Ken mendengkus, kali ini dia lebih dulu menyahut, "Terus, lo mau apa? Mau ngapain biar kita nggak berduaan? Lagian, urusannya sama lo, tuh, apa?"

Dawai tersenyum, "Memang nggak ada urusannya sama gue, tapi kalau lo cowok baik-baik, lo nggak bakal ngebiarin cewek kayak Levra punya image jelek gara-gara sering berduaan sama lo. Bisa aja tetangga-tetangga lo pada ngomongin di belakang?"

"Sok tahu," decih Ken, tidak terima. "Lo bukannya lagi cemburu, kan?"

Levra jadi bingung mengapa suasana di antara Ken dan Dawai mendadak tegang begini, sehingga dia terburu menengahi, "Lo pada kenapa, sih? Dawai, lo juga nggak seharusnya ikut campur. Ken, lo juga nggak seharusnya nuduh-nuduh gitu."

"Gini aja," tekan Dawai, seperti baru terbersit ide. "Kita bikin perjanjian."

Ken menyeringai, "Aneh. Perjanjian buat apa? Lo itu emang selalu di luar nalar, ya. Lagian, ngapain bertindak sejauh ini cuma buat hal yang bukan di ranah lo? Gue sama Levra udah temenan bertahun-tahun lebih lama dari pada kita kenal sama lo, ya."

"Buat apa? Gue cuma mau nyelametin image Levra, kok. Lagian, emang nggak baik. Demi menghindari hal yang nggak diinginkan, sebelum lo berbaur sama nafsu, mending di—"

"—heh! Gue nggak sebejat itu!"

Dawai diam. Bukannya membalas seruan Ken, dia justru teralih pada Levra—yang sedikit banyak pasti teringat akan perbuatan Ray padanya.  Namun, dia tidak mungkin membahas nama Ray di sini demi melindungi Levra dari masa lalu menyakitkan itu.

"Biar adil, Levra aja yang bikin perjanjiannya. Semua yang nentuin Levra. Gue sama lo cuma harus patuh sama aturan. Ini kompetisi. Jadi, gue harap nggak ada yang curang—"

"—serius amat, sih? Lo ngapain, Wai?"

Namun, dehaman Levra membuat kedua pemuda ini memusatkan atensi padanya. Dia pun memulai, "Gue setuju buatin perjanjiannya. Lusa ada ujian Bahasa Inggris. Kalau nilai lo bisa ngalahin nilai Ken, gue turutin mau lo, Wai. Tapi, kalau lo kalah, lo harus mundur. Jangan ikut campur lagi. Toh, gue sama Ken nggak berduaan doang. Di rumah ada bokap sama nyokap gue, kadang abang gue juga nimbrung."

Aphelion [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang