13. do I deserve to be forgiven?

656 72 0
                                    

~Tujuh tahun yang lalu~

Matahari bumi Pertiwi di siang ini memang cukup terik, hingga Kilauan-nya mampu menusuk permukaan kulit.

Tak jarang beberapa kali wanita itu menutup buka pelekat pelindung depan mobilnya, gunanya untuk melindungi cahaya matahari yang malah membutakan kedua legamnya. Saat sang mentari berada pada arah berlawanan mobil milik Tiffany berada, wanita itupun lantas kembali menutup pelindungnya karena menurutnya itu cukup risih, penglihatannya jadi tak cukup leluasa untuk menengok sekitar depannya.

Sementara itu Jeno yang saat itu masih berusia sekitar sebelas tahun sedang terkikik geli karena melihat tontonan favoritnya dari layar proyektor yang memang menjadi salah satu fasilitas dalam mobil mewah bundanya itu.

Jeno duduk di belakang dengan seatbelt yang tentunya sudah terpasang apit.

Dari pantulan cermin mobil itu, Tiffany bisa melihat betapa cerianya anaknya itu, gigi nya yang masih berjarak terlihat begitu jelas, bibirnya yang melengkung lebar, matanya yang menghilang dan seluruh pipinya yang terangkat ke atas. Hanya itu, hanya itu yang Tiffany butuhkan di saat-saat dirinya sedang drop begini, tawa putra-putranya menjadi salah satu obat terampuh bagi wanita itu.

"Seseru itu ya nak?" Tanya Tiffany karena tak tahan melihat kegemasan Jeno saat ini.

Suara bundanya barusan berhasil membuat kepala anak itu mengadah kedepan. Jeno pun mengangguk kekeuh dengan tawa yang masih terdengar jelas, kemudian atensinya kembali beralih pada tontonan yang membuatnya tertarik akhir-akhir ini.

Selagi menunggu lampu hijau, Tiffany menyempatkan diri untuk memberitahukan Jeno sesuatu.

"Jeno, habis bunda beliin gula kapas kita ke dokter ya?"

Anak itu kembali menoleh ke arah sang bunda, senyumannya yang terulum lebar tadi sontak memudar begitu saja.

"Kenapa halus ke doktel? Kan Jeno sudah sembuh bund..." Ucap anak itu dengan wajahnya yang memelas.

"Jeno mungkin sudah merasa sembuh, mungkin Jeno juga ngerasa udah bugar kembali dan udah gak sakit kayak kemarin-kemarin. Tapi kita gak boleh langsung nyimpulin gitu aja, masalah gini pasti dokter lebih tahu kan?" Balas Tiffany dengan intonasi yang begitu tenang dan lembut.

Jeno mengerti namun entah mengapa anak itu sangat takut menginjak yang namanya rumah sakit, aroma antiseptik yang menyengat Indra penciumannya selalu saja berhasil membuat Jeno merasa mual. Itulah mengapa Jeno sangat tidak suka dan tidak nyaman berada di rumah sakit.

Sebenarnya Jeno juga memiliki dokter pribadi yang bisa saja Tiffany tinggal telepon untuk ke rumah dan memeriksa putranya itu. Tetapi wanita itu memilih untuk ke rumah sakit saja, sekalian katanya.

"Iyasih bunda, ta-tapi Jeno takut lumah sakit..." Ucapnya dengan wajah yang murung, kedua bahunya bahkan menurun dan tontonan di hadapannya sudah tak semenarik tadi lagi.

Tiffany pun mengulas senyum tipisnya, lalu kembali menghadapkan punggungnya ke depan karena lampu merah sudah berlalu.

--

"Udahlah brother sisa dua mapel lagi nih, nanggung kalau bolossss..." Ujar Kenzo dengan pandangan yang sama sekali tak beralih dari benda kecil itu.

Jaemin hanya mencebik mendengarkan penuturan temannya yang sok bijak itu, biasanya juga dia yang ngajakin bolos duluan. Entah apa yang merasukinya kali ini.

The smile has your life || W-NCT DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang