Setelah memutari TPU, akhirnya mereka menemukan peristirahatan terakhir ayahnya Raya. Gadis itu terduduk bersimpuh sambil menatap sendu batu nisan itu.
Tangan Raya terangkat untuk mengusap batu nisan itu dengan perlahan. Tanpa sadar, air matanya lolos begitu saja, deru nafas memburu, menahan sesaknya luka di dada. "A-ayah." Ucapnya dengan nada gemetar.
"Ini Raya, gadis kecil yang selalu ayah cari, sekarang Raya ada di sini." Cakra berjongkok sambil memegang kedua bahu gadis itu. Mengusapnya dengan lembut untuk menyalurkan kekuatan.
"Raya bakal sering-sering tengok-in ayah, maafin Raya karena udah bikin ayah nyari Raya sampai kayak gini."
Cakra memilih diam dan terus memperhatikan seorang gadis yang seolah-olah berinteraksi dengan mendiang ayahnya. Cakra tahu betul bagaimana perasaan Raya, ia pernah dan bahkan saat ini bernasib sama sepertinya.
Di tinggal pergi oleh sang mentari, bahkan rasanya lebih buruk dari apapun. Kata Cakra, simulasi bunuh diri. Sebab, bukan hanya mental, namun dunia orang itu akan hancur dengan perlahan.
"Kita sama." Gumam Cakra sambil menengadahkan kepalanya ke langit.
Raya mengusap air matanya dengan perlahan. "Maksudnya sama?"
"Mamah gue udah di surga, dia pergi tanpa ngajak gue." Ucapnya sambil tersenyum getir.
"Ca? Kamu tau? Aku nggak tau harus marah atau senang saat ini, pantaskah aku marah sama om Arga? Atau aku harus senang karena tahu keberadaan ayahku?"
"Itu hak lo, kalau gue jadi lo, gue bakal nuntut bokap gue dengan kasus pembunuhan."
"Kejam." Sahut Raya.
"Itulah hidup."
"Cakra, aku mau minta maaf."
"Soal?"
"Sepeda motor kamu, aku bakal ganti rugi, tapi nggak sekarang." Ucap Raya.
"Gue udah lupa."
"Bukannya kejadiannya baru kemarin lusa ya? Kok udah lupa? Aku aja masih inget."
Cakra menarik napasnya dalam-dalam. "Artinya nggak mau bahas."
"Dendam?"
Cakra berdecak pelan dan melirik gadis itu sejenak. "Gue udah maafin, asal nggak diulangi." Jelas Cakra.
"Beneran? Kamu nggak bohong kan?"
"Bohong dosa."
Raya tersenyum dan menatap Cakra hingga beberapa saat. "Makasih ya." Ucap Raya yang mendapat anggukan kepala dari Cakra.
Raya menengadahkan kepalanya menatap langit senja yang mulai menguning. "Aku harus pulang, harus berangkat kerja."
"Ayo." Ucap Cakra sambil berdiri.
"Nggak perlu repot-repot, aku bisa pulang sendiri."
"Lama lo!" Dengan cepat Cakra menarik tangan gadis itu untuk pergi.
"Tunggu!" Ucap Raya yang menghentikan langkah Cakra.
"Apa lagi?"
"Belum pamit sama ayah." Ucap Raya yang membuat Cakra terdiam. Lantas Cakra mengangguk dan membiarkan gadis itu berpamitan dengan mendiang sang ayah.
Melarang Cakra sama dengan memecahkan batu, tak akan pernah bisa. Raya sudah bersikeras melarang Cakra untuk mengantarkannya ke cafetaria, namun bukan Cakra namanya jika tak berhasil melakukan apa yang ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRARAYA (END)
Ficțiune adolescenți"Hebat, lo masuk ke dalam kategori orang yang bertanggung jawab. Sebagai imbalannya, selama lo masih ada di sekolah ini lo harus turutin apapun kemauan gue." Singkat saja, berawal dari perjanjian gila yang membuat mereka terbelenggu dalam sebuah ras...