11. Melepaskan

2.4K 142 1
                                    

Flashback  tadi pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Flashback  tadi pagi.

"Wira, sampai kapan kamu akan memperjuangkan gadis itu? Bukannya kamu bilang dia akan menikah sebentar lagi?" tanya Ira pada anaknya saat mereka tinggal berdua di meja makan. Bowo sudah lebih dulu berangkat ke kantor.

"Gak tau, Ma. Aku akan terus berusaha selagi aku mampu." Wira menghela nafas berat. "Sebenarnya kurangku dimana sih, Ma? Kenapa susah banget bikin dia cinta sama aku," ucap Wira lesu.

"Menurut Mama apa yang harus aku lakukan? Mama punya saran gimana cara menjinakkan perempuan keras kepala seperti Irene?" tanyanya.

Ira geleng-geleng kepala mendengar ucapan anaknya itu. "Kucing kali dijinakin."

Ira menghela nafas panjang lalu menegakkan tubuhnya untuk berbicara serius pada Wira. Sebagai ibu, ia tentu sedih melihat anaknya ditolak cintanya oleh perempuan yang dicintainya. Tapi sebagai sesama perempuan, ia memahami posisi Irene.

"Wir, kamu nggak bisa memaksakan cinta itu hadir di hati orang lain. Sama kayak kamu. Semenarik apa pun perempuan yang berusaha mendekati kamu, tapi hati kamu nggak pernah berpaling kan dari Irene. Begitu juga yang dia rasakan, Sayang. Sekeras apapun kamu berusaha mendapatkan hatinya, tapi kalau perasaan itu bukan untuk kamu, maka kamu harus mundur."

Kata-kata itu keluar dengan sangat lembut dari mulut Ira. Ia merasa sudah cukup perjuangan anaknya untuk gadis itu. Bagaimanapun, anaknya harus melanjutkan hidupnya yang masih panjang.

"Tapi aku cintanya cuman sama dia, Ma. Mana mungkin aku bisa mundur gitu aja. Apalagi ngebiarin dia nikah sama orang lain. Aku nggak bisa, Ma," lirih Wira menggelengkan kepala.

"Lagian apa sih yang dia harapkan dari laki-laki itu? Cuman pilot biasa, apa hebatnya? Bagusan juga aku Ma kemana-mana." Walaupun kata-kata yang ia ucapkan terdengar songong, tapi nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kegetiran dan keputusasaan.

"Wira, cinta yang bertepuk sebelah tangan itu nggak bisa dipaksakan untuk bersama. Ada kalanya, mencintai cukup dengan melihat dia bahagia bersama orang yang dia cinta. Kalau bersamamu membuat dia menderita, apa kamu akan bahagia? Cinta itu nggak egois, Wir."

"Lepasin dia," ucap Ira tegas sambil menggenggam tangan Wira yang dikepal diatas meja makan.

"Iya, Ma," jawab Wira sambil menunduk lalu menekan sudut matanya yang basah.

Flashback off

*****

Sekitar jam 9 malam, Wira akhirnya sampai di rumah Irene. Sudah berkali-kali ia mengetok pintu rumah itu tapi tidak kunjung dibuka. Dia juga sudah mencoba menelepon tapi tidak diangkat.

Sementara di dalam kamarnya, Irene sedang tidur dengan lelap. Dia benar-benar kelelahan sepulang dari penerbangannya. Entahlah, beberapa hari belakangan ini dia mudah sekali kelelahan dan mengantuk.

Saat Wira terus mencoba menghubungi Irene sambil mondar-mandir di depan pintu, kedua orang tua Irene baru pulang dari warung ayam geprek mereka.

"Eh ada Nak Wira," sapa Ibu saat keluar dari mobil. Bukan mobil mewah. Hanya mobil Avanza keluaran lama yang mereka beli dari hasil usaha warung ayam geprek. Sangat kontras dengan mobil Rolls Royce milik Wira yang terparkir di luar pagar rumah itu.

"Buk.. Pak." Wira menyalam kedua orangtua Irene yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri.

"Apa kabar Wir? Kok udah jarang main ke rumah?" tanya Bapak basa-basi sambil menepuk pundaknya. Bapak tahu alasan Wira jarang berkunjung ke rumah ini. Tentu saja karena Irene sudah bertunangan dan akan menikah.

"Baik Pak. Lagi banyak kerjaan di kantor makanya jarang kesini lagi. Oh iya Pak, Irene ada di rumah?" tanya Wira dengan sopan dengan sedikit membungkukkan bahunya.

"Harusnya sih ada. Buk, coba cek ke kamarnya. Mungkin dia ketiduran," ucap Bapak sambil membuka pintu rumah dengan kunci yang ia pegang.

Wira dipersilakan masuk dan duduk di sofa ditemani oleh Bapak. Mereka berbincang hal-hal yang ringan sembari menunggu Irene muncul.

Sementara itu Ibu masuk ke kamar Irene dan melihat anaknya tidur dengan sangat damai. "Ren.. Irene," panggil Ibu pelan sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Enggghh," Irene melenguh panjang karena tidurnya terusik oleh panggilan dan tangan yang menepuk pundaknya.

"Ibu? Udah pulang, Bu? tanya Irene setelah berhasil membuka matanya sambil menggeliat merenggangkan otot-ototnya.

"Bangun, Nak. Ada Wira di depan nunggu kamu," ucap Ibu membuat mata Irene membola.

"Ngapain sih dia kesini? Suruh pulang aja lah Bu. Malas aku nemuinnya," ucap Irene acuh lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Ibu.

"Ehh.. gak boleh gitu, Ren. Ayo bangun." Ibu menarik tangan Irene sedikit memaksa hingga ia duduk bersila diatas kasur.

"Dia udah dari tadi loh panggil-panggil kamu dari luar tapi nggak kamu bukain pintu. Dia pasti ada perlu sama kamu Ren makanya sampai datangin kamu malam-malam gini.”

Di mata Ibu dan Bapak, Wira adalah pria yang baik dan sopan. Selama ini, Wira selalu bersikap hormat pada mereka sekalipun mereka bukan siapa-siapa dibanding dirinya yang seorang konglomerat. Dan mereka tidak akan pernah lupa dengan peristiwa penusukan yang Wira alami beberapa tahun lalu. Mereka masih merasa berhutang nyawa pada Wira atas peristiwa itu.

"Bicarakan baik-baik sama dia, Ren. Sebentar lagi kamu akan menikah. Jangan sampai ada yang tersakiti dengan pernikahan kamu nanti," nasehat Ibu pelan-pelan. Irene tetap tidak bergerak dari kasurnya.

"Kenapa aku harus musingin perasaan dia yang tersakiti? Aku nggak pernah kasih harapan apa-apa sama dia Bu," jawab Irene kesal.

"Temui dulu, Ren. Mungkin ada hal penting yang mau dia sampaikan," ucap Ibu membujuk. Irene masih tetap di posisinya yang duduk bersila diatas kasur.

Ibu menghela napas berat, memikirkan cara untuk membujuk lagi. "Kamu pernah dengar kalau doa orang yang tersakiti besar kuasanya?" tanya Ibu. Pertanyaan itu terkesan untuk menakut-nakuti Irene.

"Ck.. orang kayak dia mana pernah berdoa Bu."

"Kita nggak tau, Sayang. Jangan menghakimi seseorang hanya dari apa yang kita lihat dari luar," ucap Ibu bijak.

"Hhh.. ya udah iya. Demi Ibu nih," ketus Irene sambil menggaruk kepalanya hingga rambutnya berantakan. Dia menyerah menolak permintaan ibunya yang kelihatan sangat berusaha untuk membujuknya menemui Wira.

Tanpa memperbaiki penampilannya, Irene beranjak dari kasur, lalu dua wanita beda generasi itu sama-sama berjalan keluar dari pintu kamar.

Dengan mengenakan piyama longgar warna hijau greentea, lengan sesiku dan celana panjang, rambut dicepol agak berantakan, dan wajah bare face tanpa riasan, Irene keluar menemui pria yang sangat tidak ingin ia lihat itu.

Dia memang sangat cuek soal penampilan kalau bertemu Wira. Beda cerita kalau bertemu Eliot atau saat bekerja sebagai pramugari yang menuntut untuk merias wajah. Namun justru penampilan seperti inilah yang paling disukai Wira dari Irene. Tampilan natural yang memperlihatkan warna putih kulit wajahnya tanpa foundation, alis tanpa pensil, bibir pink pucat, kantung mata yang menyembul membuat kecantikannya semakin terpancar.

Mendengar suara langkah menyeret dari arah ruang tengah, Wira langsung tahu kalau itu langkah kaki Irene. Dia menghentikan obrolannya dengan Bapak kemudian matanya tertuju ke arah pintu yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah.

Tak lama kemudian muncullah Irene dengan wajah ditekuk, menatap tajam pada Wira. Sementara Wira membalasnya dengan senyuman dan mata berbinar.

"Hai," sapa Wira.  Sapaan itu hanya ia ucapkan lewat gerakan bibir tanpa bersuara.

"Duduk sini, Nak," panggil Bapak lembut menepuk sofa di sebelahnya.

Irene melangkah dengan langkah gontai dan kaki diseret. Dia ingin menunjukkan secara gamblang betapa malasnya ia menemui tamu tak diundang di hadapannya.

"Kalian ngobrol dulu ya, Bapak mau ke belakang buat bersih-bersih," ucap Bapak memberi ruang privasi untuk mereka berdua.

"Emm.. Pak. Boleh saya ajak Irene ngobrol di luar sebentar? Sebentar aja Pak. Gak sampai satu jam," pinta Wira sebelum Bapak masuk ke ruang tengah.

Bapak melihat ke arah Irene yang melotot ke arah Wira.
"Please," pinta Wira masih dengan gerakan mulut tanpa suara.

"Gimana, Ren? Bapak sih terserah Irene aja Nak Wira," ucap Bapak memandang Wira dan Irene bergantian.

Irene menimbang-nimbang permintaan konyol itu. Kalau sampai Wira membahas hal sensitif yang tidak boleh didengar oleh Bapak dan Ibu bisa bahaya, pikirnya.

"Mm," jawabnya bergumam tanda setuju.

Senyum di wajah Wira melebar saat mendapat persetujuan dari Irene.

"Ya sudah, jangan lama-lama ya. Hati-hati," ucap Bapak mengijinkan.

Saat Wira dan Irene berdiri, tiba-tiba Ibu muncul membawa nampan berisi teh hangat. "Loh.. loh.. kok pada berdiri? Mau kemana?" tanya Ibu heran.

"Ini Bu, Wira ijin bawa Irene keluar sebentar mau ngobrol," jawab Bapak.

"Oalah.. udah Ibu bikinkan minum ini. Yasudah kalau begitu. Kalian hati-hati ya," ucap Ibu.

Kedua orang tua ini sangat percaya pada Wira. Mereka yakin laki-laki itu akan menjaga putri mereka seperti mereka menjaganya. Andai mereka tahu..

Irene berjalan di depan mendahului Wira keluar dari halaman rumahnya.
"Loh Ren.. mau kemana? Mobil aku disini," tanya Wira heran.

"Siapa bilang naik mobil? Kita bicara di warung tenda depan gang," ketus Irene sambil terus berjalan.

Tanpa membantah, pria itu menutup pintu mobil dan menekan tombol otomatis untuk menguncinya lalu berlari mengejar Irene.

Bersambung

Jangan lupa kasih Vote dan komentar ya.

Cara Terakhir Mendapatkanmu (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang