14. Menolak

3.1K 172 9
                                    

Irene terduduk di lantai keramik ruang tamu menangisi kepergian Eliot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Irene terduduk di lantai keramik ruang tamu menangisi kepergian Eliot. 'Apa katanya tadi? Tidak akan ada pernikahan? Tidak tidak. Ini nggak boleh terjadi.' Irene menggelengkan kepala, menolak keras apa yang sedang ia pikirkan.

Bapak juga terduduk lemah di atas sofa. Seketika ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Sementara Ibu masih setia berdiri di tempatnya, memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan situasi ini.

Ruangan yang tadinya dipenuhi ketegangan, kini berubah sunyi mencekam. Hanya terdengar isak tangis Irene yang makin lama makin pelan. Ibu menutup pintu dan semua gorden rumah rapat-rapat. Ia tidak ingin kalau tiba-tiba ada tetangga yang datang dan melihat kekacauan di rumahnya.

Bapak menghela napas berat. Suara helaan ini membuat Ibu dan Irene gelisah. Sebagai orangtua, Bapak merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang telah gagal mendidik anak mereka satu-satunya. Selama ini dia sangat bangga dengan putri mereka. Dibesarkan sebagai anak tunggal, tidak membuat Irene menjadi pribadi yang manja dan bergantung pada orang tua. Tidak pernah terlintas di pikirannya kalau anaknya yang ceria, yang polos, yang tidak pernah tertarik dengan dunia malam, justru terperosok ke dalam dosa maksiat.

"Kita gagal, Bu," ucap Bapak lirih.

Tangis Irene kembali pecah saat mendengarnya. Ia merangkak mendekati kaki Bapak yang masih duduk di sofa. "Pak.. maafkan aku. Aku udah mengecewakan Bapak sama Ibu. Bapak sama Ibu nggak gagal. Aku yang gagal, Pak. Aku yang gagal menjaga diri dari laki-laki bejat itu."

Ibu berniat untuk menghentikan Irene yang bersimpuh memeluk betis suaminya sambil menangis minta maaf. Tapi langkah Ibu terhenti saat mendapati tatapan Bapak yang seolah berkata 'biarkan'.

"Aku nggak pernah terpikir sedikit pun untuk melakukan itu, Pak. Aku setia sama Mas El. Ini bukan keinginan aku, Pak. Aku korban disini. Aku dilecehkan, Pak. Aku diperkosa!" jerit Irene.

Mendengar itu, Bapak dan Ibu sangat terkejut. Ibu menutup mulutnya dengan tangan untuk meredam suara tangisnya. Sementara Bapak masih berusaha mengendalikan diri. Dia mengusap puncak kepala putrinya yang masih bersimpuh di kakinya.

Merasakan sentuhan lembut di kepalanya, Irene akhirnya memiliki keberanian untuk mengangkat kepalanya. "Maafkan aku, Pak,” tangisnya sambil memohon dengan kedua telapak tangan disatukan didepan dagunya.

"Duduk, Nak," ucap Bapak lembut sambil memegang kedua lengan atas Irene lalu membawanya duduk di sebelahnya.

"Ceritakan kejadiannya sama Bapak dan Ibu."

Ibu segera duduk di sofa, menghadap sofa yang diduduki Bapak dan Irene.

"Waktu itu—"

Irene tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia menggeleng lalu menundukkan kepalanya, kembali menangis sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Menceritakan kejadian malam itu membuatnya harus mengingat kembali peristiwa menjijikkan dan menakutkan yang ia alami. Dia tidak sanggup. Untungnya Bapak paham dengan perasaan putrinya. Bapak membawa Irene ke dalam pelukannya untuk menenangkannya.

"Shh.. shhh.. Udah, Nak. Jangan diceritakan kalau kamu belum siap," ucap Bapak menenangkan sambil mengusap kepala Irene.

Irene mengangguk lalu menghapus air matanya. Dia sedikit lebih tenang sekarang.

Setelah putrinya kembali tenang, Bapak mengurai pelukannya lalu menatap Irene lekat-lekat. "Bapak tidak akan tanya bagaimana kejadiannya. Tapi boleh Bapak tahu siapa ayah dari bayi ini?" tanya Bapak hati-hati.

Irene menggeleng dengan ragu.

"Kenapa, Nak? Kamu takut?"

Irene mengangguk.

Bapak menarik napas panjang lagi. "Ada Bapak dan Ibu yang akan melindungi kamu. Kamu percaya kan sama Bapak dan Ibu?" ucap Bapak memberi rasa aman pada putrinya. Lalu Irene mengangguk.

"Siapa laki-laki itu?" tanya Bapak lagi.

"Wi.. Wira, Pak."

Cara Terakhir Mendapatkanmu (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang