2: Who are you? (Part 2)

12 4 1
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

"Awalnya, lo enggak punya salah apa-apa, Ra. Tapi," Gemilang maju selangkah, membisikkan sesuatu ke telinga Ira, "karena lo adalah orang pertama yang tahu sisi tersembunyi gue selama beberapa tahun terakhir ... maka dari itu, lo punya kesalahan besar, Ra. Dan gue ... sama sekali enggak suka."

Bugh!

Ira langsung menenggelamkan wajahnya pada bantal begitu kalimat Gemilang kembali terngiang-ngiang di telinganya. Cewek itu memangku dagunya dengan kedua tangan, lalu kembali meringis saat memori menakutkan itu terputar kembali di otaknya. Ira benar-benar tak mengerti, bagaimana bisa situasi mengerikan seperti itu bisa terjadi padanya dalam waktu sesingkat ini?

Padahal, hari ini ia berangkat ke sekolah dengan perasaan ringan tanpa beban. Tugas-tugas sekolahnya sudah ia kerjakan tepat waktu, dan tugas dari ekskulnya juga terlaksana dengan baik—terima kasih kepada Alfa yang telah membantu dan Gemilang yang telah berbaik hati untuk meluangkan waktunya.

Ya. Seharusnya hari ini berjalan dengan sangat baik—sampai Ira pergi ke ruang kesenian dan tak sengaja mendengarkan sesuatu yang semestinya tidak boleh ia dengar. Ia bahkan langsung pulang dengan cepat karena tak mau bertemu dengan laki-laki itu. 

Gemilang ... dia ...

"Ah, enggak tahu, ah!"

"Ira. Kamu kenapa, sih? Dari tadi Bunda perhatiin, kok, kamu kelihatan gelisah terus. Ada apa?"

Menunjukkan sebuah cengiran kecil menjadi pilihan Ira untuk menanggapi pertanyaan bundanya. Gadis itu menyampirkan bantal sofa yang semula dipegangnya dan menyisihkan sebuah tempat duduk untuk sang bunda.

Ah, iya. Harusnya aku di kamar aja tadi. Bukannya di ruang tamu kayak gini ...

"Eung, enggak apa-apa, kok, Bun. Tadi aku cuma pusing sedikit karena mikirin sekolah. Akhir-akhir ini udah mulai sibuk soalnya ... " Ira menggeleng, memperhatikan Bunda yang mengambil tempat di sebelahnya.

Bunda Ira—Rianti, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya maklum saat mendengar jawaban putrinya. Ia tersenyum lembut, lalu mengelus rambut sebahu putrinya penuh kasih sayang. Senyumannya pun semakin melebar saat sepasang manik matanya bertemu dengan manik cokelat milik Ira.

"Anak Bunda udah besar ternyata. Sudah kelas sebelas. Sekitar setahun dua tahun lagi, enggak terasa bakalan lulus SMA. Waktu itu ... berlalu dengan cepat, ya, Nak. "

Melihat Bunda yang tersenyum menatapnya, membuat Ira refleks tersenyum juga. Gadis itu kemudian menggenggam salah satu tangan bundanya dan memainkannya seperti yang selalu ia lakukan sejak kecil. Kedua matanya yang berbinar, kembali terfokus pada sang ibu.

"He-he-he. Iya. Ira udah besar sekarang, Bun. Oh, iya, Bunda. Ayah kapan pulangnya? Katanya, akhir bulan ini, 'kan?" Ira bertanya pada bundanya, seraya mengagumi kecantikan sosok wanita paruh baya itu yang seakan-akan tak lekang oleh waktu. Walaupun garis-garis wajahnya tampak semakin dalam, namun wajahnya tetap bersinar bagaikan rembulan. Rambut panjangnya yang kini terikat pun tampak menjuntai anggun, bergerak-gerak mengikuti irama sang pemiliknya.

Sebuah senyuman kecil terbit di wajah Bunda. Ia kembali mengusap kepala putri semata wayangnya. "Iya. Rencananya ayahmu bakalan balik akhir bulan ini kalau enggak ada masalah sama proyek terbarunya. Doakan aja semoga lancar sampai akhir, ya."

Ira pun langsung mengangguk cepat, mengiakan perkataan Bunda. "Iya. Aamiin, Bunda. Semoga proyek bangunannya Ayah enggak bermasalah dan Ayah bisa pulang cepet. Ira udah kangen soalnya, he-he!"

Bunda langsung mendengus geli, menyodorkan sebuah mangkuk kecil berisi potongan apel kepada Ira. Ia beranjak dari tempat duduknya. "Iya, semoga ayahmu cepat pulang, ya, Sayang. Ngomong-ngomong, Bunda ke dapur dulu, ya. Kamu makan aja, nih, apelnya. Kamu harus banyak makan makanan yang sehat supaya enggak gampang ngedrop."

Ira menerima mangkuk kecil itu dengan senang hati. Ia lalu mengucapkan terima kasih kepada bundanya yang mulai melangkah menuju dapur. "Makasih banyak, Bunda! Aku habisin, ya!"

Sambil memakan apel pemberian Bunda, Ira kembali memeluk bantal sofa dan mengambil ponsel hitamnya yang tergeletak di meja. Beberapa notifikasi pun terlihat di layar ponselnya, kebanyakan dari grup obrolan kelas dan ekskul. Gadis itu pun kemudian membaca dengan saksama pemberitahuan yang diinformasikan oleh Darel via pesan, di grup obrolan ekskul.

Darel (Ketua Ekskul Junalistik Angkatan 14) 
Btw, guys, soal perekrutan anggota baru, masih dibuka buat tiga hari ke depan, ya, kata pembina ekskul. Kalau ada adek-adek kelas 10 yang mau join, masih boleh, ya. Bahkan kalau ada temen-teman kelas 11 yang mau join, itu juga boleh banget. Nanti tinggal dateng aja ke ruang ekskul buat ambil formulir, kembaliin formulir, terus tinggal wawancara. Oke?

Ira mengembuskan napas, membatin dalam hatinya. Perekrutan anggota baru, ya?

Gadis itu lalu tersenyum kecil, ia mendadak teringat akan seleksinya dulu untuk menjadi anggota ekskul jurnalistik. Ia kemudian menonaktifkan ponselnya kembali, membawa mangkuk kecilnya yang kosong itu ke tempat cuci piring untuk membersihkannya.

Meskipun otaknya masih sesekali mengingat tentang kejadian tidak mengenakkan di ruang kesenian, Ira memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Walaupun Gemilang sudah jelas-jelas mengancamnya seperti itu, ia ingin fokus terhadap hal-hal yang sekiranya lebih penting dan harus segera dilaksanakan. Karena tugas-tugas yang lebih berat sudah menunggunya di persimpangan jalan.

✨✨✨

Ira berusaha meneguk salivanya susah payah ketika menyerahkan selembar formulir pendaftaran kepada seseorang yang berdiri tepat di hadapannya.

Senyuman ramah yang selalu dianggapnya memesona, kini terlihat lebih menyeramkan dari yang seharusnya ia kira. Gadis itu menunduk, merutuki takdir yang seolah tak berpihak kepadanya.

Gemilang menerima formulir pendaftaran ekskul jurnalistik dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia menatap lembaran itu sekilas, lalu melemparkan pandangannya kembali kepada seorang perempuan yang duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk.

Seorang perempuan yang tak pernah ia sangka akan mengetahui rahasia terbesarnya yang sudah ia simpan selama beberapa tahun terakhir.

"Hai, Ira. Doain supaya gue bisa masuk ekskul jurnalistik dan ketemu lo terus, ya."

Ira meremas rok abu-abunya sembari membatin dalam hati.

KEBETULAN MACAM APA INI, YA TUHAN? AKU SAMA SEKALI ENGGAK SUKA!

✨✨✨

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang