12: After the reconciliation (Part 2)

7 3 3
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Di pertemuan sore itu, sesungguhnya tidak ada hal aneh yang terjadi di antara mereka berdua selain Ira yang tiba-tiba menangis dan ditenangkan oleh Gemilang. Ira masih ingat bagaimana dirinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghentikan tangis dan menenangkan pikirannya yang sibuk melanglang buana. Bisa dibilang, saat-saat itu merupakan saat yang paling menenangkan bagi Ira sampai mulut hina milik Gemilang mulai bersabda.

"Ra, lo udahan belum nangisnya? Nanti bersihin, loh, ya kalau sampe ada ingus lo di kemeja gue."

Merasa malu sekaligus terperanjat, akhirnya Ira pun buru-buru melangkah mundur dan mengusap kasar air mata yang masih tersisa di wajahnya. Gadis itu baru benar-benar tersadar bahwa dirinya telah menangis dalam dekapan cowok yang ia sukai—yang tanpa diduga malah terjebak dalam hubungan yang aneh bersamanya. Gemilang pun hanya bisa tersenyum menyaksikan tingkah lucu cewek itu.

"Ternyata, lo bisa nangis kayak gitu juga, ya, Ra."

"Mama, Mama! Aku mau balon yang di sana!"

Perhatian Ira langsung teralihkan kala teriakan yang nyaring itu tak sengaja mengusik gendang telinganya. Setelah ia perhatikan, rupanya teriakan itu milik seorang bocah laki-laki yang kini tampak tergopoh-gopoh menghampiri abang penjual balon yang kebetulan mangkal di dekat gerbang alun-alun. Si ibu yang terlihat membawa sebuah tas besar pun hanya bisa pasrah, mengikuti langkah sang anak yang melaju cepat bagai mobil balap.

Minggu pagi yang cerah, di bangku taman alun-alun kota. Di sinilah Ira sekarang, menatap keramaian alun-alun yang seolah tak pernah lekang oleh waktu. Sesekali sambil melirik ke arah ibu dan anak yang menarik perhatiannya tadi, Ira pun mengaktifkan ponselnya. Membaca pesan dari seseorang yang telah memproklamirkan diri bahwa sudah berbaikan dengan Ira seusai pertemuan sore itu.

Gemilang
Lo nunggu di tempat yang kemarin, 'kan?

Tunggu bentar. Gue beli minum dulu. Nanti gue ke sana.

Ya, berbaikan. Ira menghela napas, memasukkan kembai ponselnya ke dalam ransel kecil. Memang benar, mereka akhirnya berbaikan setelah berbincang sedikit mengenai beberapa hal. Ah, tidak. Lebih tepatnya, mereka tidak punya pilihan lain selain berbaikan. Mereka akan menjadi partner dalam satu ekskul yang sama. Jadi, sudah seharusnya, 'kan, mereka berbaikan dengan satu sama lain?

"Huah!" Ira berseru kaget, refleks memegangi pipinya yang terasa kebas karena bersentuhan dengan botol minuman yang dingin.

"Hai, Ra. Udah nunggu lama, ya?" Si pelaku yang tak merasa bersalah pun langsung mengambil tempat duduk di sebelah Ira, menyeringai lebar. Lelaki itu—Gemilang, tampaknya merasa amat senang karena siasat botol dinginnya berhasil mengejutkan gadis itu.

"Kamu ini, ya, Gemilang. Emang kamu enggak punya pekerjaan lain, ya, selain ngagetin orang kayak gitu?" Ira mendelik, bertanya galak.

Melihat respons yang tak biasa itu pun sukses membuat Gemilang tergelak. Ternyata Ira sudah benar-benar meniru tabiat bicaranya yang agak nyelekit itu. "Ya ampun. Lo sekarang udah jadi lebih galak, ya, Ra. Lebih galak daripada guru kimia gue," lelaki itu pun menyodorkan salah satu botol minuman isotonik yang dibawanya, "nih, buat lo. Supaya bawaannya enggak kesel terus kalo sama gue."

Dengan raut sebal yang masih tergambar jelas di wajahnya, Ira pun menerima uluran botol isotonik itu. Ia meminumnya sedikit rakus, meski kedua matanya sesekali mencuri pandang ke arah Gemilang. Tak ada sesuatu yang berbeda mengenai penampilan cowok itu—kecuali topi putih yang kini tak lagi bertengger di kepalanya, tetapi Ira bisa merasakan sesuatu yang aneh dengan lelaki itu. Ah, apa karena gaya rambutnya? Uh, tidak juga. Ira justru suka melihat rambut Gemilang yang berantakan dan terkena belaian angin itu ...

Plak!

Suara tepukan yang cukup keras itu menjadi pertanda bahwa Ira telah tersadar dari lamunan anehnya. Apa-apaan barusan? Ira berpikir kalau dia menyukai rambut berantakan Gemilang? Ya, memang benar, sih! Tapi, memangnya harus kepikiran sekarang, ya? Aduh, perkara perasaan ini ... apa Ira sungguh-sungguh tidak bisa menghapus perasaan yang sudah mengakar ini meski telah mengetahui sosok Gemilang yang sebenarnya?

"Ra, Ira? Hei? Lo kenapa?"

Ira mengerjap. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya untuk beberapa saat. "Enggak. Aku enggak apa-apa."

"Beneran?" Gemilang melirik sangsi ke arahnya.

"Iya, beneran."

"Enggak percaya gue."

"Astaga, beneran iya, Gemilang ... "

"Sumpah? Enggak kesurupan, 'kan, lo?"

Ira mendesis, siap melayangkan pukulan jika cowok itu berani berbicara sembarangan lagi.

Pelan, Gemilang tertawa. Ia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Peace, Ra. Peace. Gue cuma bercanda kali. Mau lihat reaksi lo gimana. Soalnya, reaksi lo sekarang, tuh, lebih lucu, tahu. Dikit-dikit marah. Dikit-dikit mau mukul. Gue jadi ngerasa enggak kayak ancaman lagi buat lo."

Kedua tangan yang terangkat itu pun terdiam sejenak. Ira menurunkan tangannya, menatap sosok Gemilang dengan penuh tanda tanya. Lelaki itu ... selalu suka mengeluarkan kata-kata yang membuatnya penasaran. Menebak-nebak. Misterius. Ambigu. Ira sendiri sampai bingung harus memberikan balasan seperti apa.

"Kamu ... "

Gemilang menoleh. Menyebabkan kedua pasang mata yang jernih itu bertemu. Ira pun menelan salivanya gugup, seketika termangu. Entah mengapa, sorot mata Gemilang yang teduh itu justru menciutkan nyalinya. Terasa hangat, tetapi menyimpan aura pekat yang tak mampu diterjang.

"Kamu ... " Ira memalingkan muka, berpikir keras untuk melanjutkan ucapannya. "Ah! Kamu kemarin ngajak aku ketemuan karena pengin nunjukkin aku ke suatu tempat, 'kan? Kalau gitu, ayo! Aku enggak bisa lama-lama kayak kemarin soalnya!"

Walaupun terkejut saat tangan kanannya ditarik paksa oleh Ira, Gemilang pun secara sukarela mengikuti langkah cewek itu dan membawa dua botol minuman isotonik milik mereka berdua. Lalu, dengan kedua kaki panjangnya, cowok itu pun berhasil menyalip Ira dan mengubah posisi genggaman mereka.

Seraya menarik sudut bibirnya, Gemilang pun berujar, "Karena gue yang ngajak, gue yang seharusnya narik tangan lo, Ra!"

✨✨✨

Ira lebih dari tahu kalau Gemilang adalah sosok yang penuh akan kejutan—dan bisa membuat siapa saja syok bila mengenal diri cowok itu yang sesungguhnya. Ira pun juga sudah mulai terbiasa dengan tingkah aneh tak tertebak, maupun perkataan menohok yang dapat mengakibatkan nyeri hati jika tak sanggup menahannya.

Ya. Ira pikir, waktu satu bulan lebih sudah cukup untuk berkenalan dengan sisi menakjubkan Gemilang dan mengulangi kehidupan sekolahnya yang sempat berantakan karena kehadiran cowok itu yang tak biasa.

Senyum Gemilang semakin terkembang, sementara tangannya melepas genggaman pada jemari Ira yang sejak tadi bergeming. Gadis itu termangu, benar-benar tak menyangka bahwa cowok itu akan membawanya ke tempat ini.

"Selamat datang di Rumah Seni Nirmala, Ra. Ini dia tempat yang pengin gue tunjukkin ke lo. Gimana? Bagus, 'kan?"

Pendengaran Ira seolah-olah kehilangan fungsinya. Ia sama sekali tak membuka mulut sampai sesosok wanita paruh baya pun melambaikan tangan di depan pintu, menyapa dirinya dengan riang.

"Loh, Ira? Tumben kamu ke sini enggak ngasih kabar. Kenapa berdiri di luar gitu? Ayo masuk!"

Rumah Seni Nirmala. 

Benar. Ira tidak mungkin tidak mengenali tempat ini.

Namun ...

Kenapa Gemilang bisa membawanya ke rumah seni milik bibinya ini?

✨✨✨

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang