9: Still a beginning (Part 2)

7 3 0
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Siapa bilang kalau pelajaran biologi itu cuma sekadar menghafalkan nama-nama latin dari berbagai makhluk hidup?

Hah! Ingin sekali Ira menceramahi orang-orang yang selalu beranggapan seperti itu. Biologi tidak cuma membahas soal nama latin-dan hal itulah yang membuat Ira menahan pening saat melihat gurunya menjelaskan materi jaringan hewan dan tumbuhan di papan tulis. Gadis itu menopang dagunya sekuat tenaga, terkantuk-kantuk saat Kirana memanggilnya pelan.

"Ira, boleh pinjem bolpoin, enggak?"

Ira hanya mengangguk sekilas, lantas menyerahkan benda berwarna hitam itu sedikit malas.

Kirana tersenyum lebar menerimanya. "Makasih, Ira!"

Siang itu, angin sepoi-sepoi berembus pelan menerobos jendela kelas yang terbuka. Cahaya matahari pun terlihat menyilaukan, membuat Ira sesekali menyipitkan kedua matanya yang mulai terasa berat.

Ingin sekali rasanya Ira langsung tidur dan berkelana di alam mimpi. Namun, ia cukup tahu diri untuk menahan keinginannya itu. Ira tahu betul bahwa guru biologi yang kini mengajarnya itu tak akan segan-segan membuat dirinya kelelahan berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung karena ketahuan tertidur di kelas.

Masih dengan menopang dagu, Ira pun kemudian menyalin beberapa materi di papan tulis ke buku catatannya. Gadis itu sesekali membalikkan lembaran buku paketnya, berusaha mengikuti penjelasan ibu guru berkacamata yang entah mengapa sudah berpindah ke sub materi yang berikutnya.

Kegiatan itu terus berlanjut lima belas menit ke depan, hingga sebuah notifikasi pesan mendadak muncul di layar ponselnya. Gadis itu sontak mengernyitkan dahi, mendengus pelan saat membaca pesan yang baru dikirimkan kepadanya.

Ternyata, lelaki itu masih sama menyebalkannya.

Gemilang
Pulang sekolah nanti, temuin gue di deket aula. Lo enggak dateng, gue tungguin di depan kelas lo besok pagi. See u.

✨✨✨

"Jadi ... kenapa kamu minta aku ke sini, Gemilang?"

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Ira pun segera bergegas membereskan barang-barangnya dan berjalan menuju aula sekolah yang terletak di lantai dua. Gadis itu pun tak lupa mengirimkan pesan kepada bundanya; meminta wanita paruh baya itu untuk menunggunya sebentar di depan gerbang sekolah bila sudah sampai.

Tetapi, Ira tampaknya harus menunggu lebih lama karena Gemilang malah sibuk menggambar dan benar-benar mengabaikannya yang sudah berdiri di samping lelaki itu sejak lima menit yang lalu. Rasa-rasanya, waktu yang ia habiskan untuk mengkhawatirkan Gemilang semalaman terbuang begitu saja untuk hal yang sia-sia.

Ira akhirnya menghela napas, mencoba memanggil lelaki itu untuk kesekian kalinya. "Gemilang ... kamu manggil aku ke sini sebenernya buat apa? Kalau kamu manggil aku ke sini cuma buat ngisengin aku, kamu mending bilang sekarang. Bundaku pasti udah nunggu di depan gerbang buat jemput aku."

Panggilan Ira yang kali ini ternyata membuahkan hasil, cowok itu tampak menoleh ke arahnya, lalu memasukkan buku kecil yang ia bawa ke dalam tas ranselnya.

"Lo ada hubungan apa sama Alfa-si anak fotografi itu?"

Ira mengerjapkan kedua matanya, menatap lelaki bertubuh jangkung itu sedikit terkejut. Ia hanya tak menyangka bahwa pertanyaan semacam itu akan keluar dari mulut Gemilang.

Gadis itu mengalihkan pandangannya, berujar pelan. "Aku sama Alfa cuma temenan. Kenapa kamu tanya soal itu?"

Gemilang menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar dan memandang lurus ke arah langit yang mulai dipenuhi semburat merah. Kedua sudut bibirnya samar-samar tertarik, membentuk sebuah senyuman yang aneh. "Enggak. Enggak kenapa-napa. Gue cuma penasaran aja kalau dia bakalan khawatir sama gosip yang ada."

Ira mengerutkan dahinya. Menatap lelaki itu kembali. "Gosip? Gosip apa?"

Gemilang mendengus. Membalas tatapan cewek itu sedikit geli. "Gosip tentang lo dan gue. Lo enggak tahu soal itu?"

Ira langsung terdiam. Matanya yang bulat itu sempat melebar, namun sebuah ingatan tiba-tiba menyambarnya seperti petir yang mengilat. Gadis itu memang tak tahu soal gosip yang disebutkan Gemilang, namun sepertinya ia mengerti mengapa orang-orang menatapnya penuh rasa ingin tahu sejak ia tiba di sekolah tadi pagi. Meskipun tidak terang-terangan, Ira masih bisa merasakan aura membunuh yang melingkupi dirinya.

"Enggak. Aku enggak tahu," Ira menggeleng cepat, "tapi, aku sekarang kayaknya ngerti kenapa ada beberapa cewek yang ngeliatin aku di kantin tadi. Ternyata karena itu, ya ... "

Gemilang pun melirik perempuan itu sekilas, lalu meloloskan helaan napasnya. "Lo enggak apa-apa sama itu?"

Ira mengerjap. Mendongak ke arah cowok itu. "Maksud kamu?"

"Maksud gue, lo enggak apa-apa digosipin kayak gitu sama gue? I mean, lo tahu sendiri, 'kan, gosip itu bisa berubah jadi rumor yang aneh dan enggak berdasar? Lo enggak apa-apa sama hal itu?"

Sejenak, gadis itu hanya bungkam. Ia kemudian tersenyum, lalu tertawa kecil. Menertawakan sesuatu yang baru saja ia sadari.

"Gemilang. Kamu tahu enggak, sih, kalau omongan kamu itu kontradiktif banget sama chat yang kamu kirim ke aku tadi?" Pandangan Ira kini tertuju sepenuhnya pada lelaki itu.

"Kamu pikir dengan kamu dateng ke kelas aku besok pagi-pagi, semua orang bakalan nganggep kita enggak ada apa-apa? Kamu pikir gosipnya bakalan hilang begitu aja?"

"Enggak, Gemilang. Enggak! Kamu bakalan bikin semuanya tambah rumit!" Ira berseru kesal, mengepalkan kedua tangannya yang mulai gemetar. Cepat atau lambat, gadis itu tahu kalau dirinya akan meledak di depan cowok itu-mengatakan segala hal yang telah terpendam di hatinya selama ini.

Dahulu, Ira berpikir bahwa dirinya hanya akan menjadi seseorang yang sekadar lewat di hidup cowok itu, memandanginya dari belakang, mengagumi sosoknya yang begitu mengagumkan. Ira masih ingat dengan jelas ketika ia buru-buru datang ke aula sekolah hanya untuk menyaksikan pidato Gemilang di bangku terdepan, lalu bertepuk tangan paling keras saat lelaki jangkung itu meninggalkan podium.

Ira juga masih ingat bagaimana senangnya ia saat mendengar lelaki itu berhasil memenangkan medali perunggu OSN, dan melihat wajah lelaki itu terpampang jelas di depan gerbang sekolah. Hanya berupa serpihan kecil, tetapi kenangan semacam itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Ira bahagia.

Tetapi, siapa yang bisa menduga kalau pertemuan mereka hari itu akan mengubah segalanya?

Sore itu, di depan aula sekolah yang terkunci dan tertutup rapat, Ira dan Gemilang pun saling berpandangan. Mereka saling bertukar pikiran, meski tak ada mulut yang mengucapkan kata-kata. Mereka hanya beradu mata, meski salah satunya tak bisa menebak dengan benar apa yang tengah dipikirkan oleh lawannya.

"Bukan itu jawaban yang gue mau, Ra." Gemilang tersenyum, memecah keheningan di antara mereka. "Lo keberatan atau enggak digosipin sama gue? Cuma itu yang pengin gue tahu."

"Kalau lo emang keberatan, gue bakalan tarik kata-kata gue di ruang kesenian waktu itu. Gue enggak akan ngancem lo lagi atau ngelakuin sesuatu yang bikin lo enggak nyaman. Tapi, dengan satu syarat ... "

Ira mengulum bibirnya. Ya, beginilah seorang Gemilang. Tidak mungkin cowok itu bermurah hati pada dirinya tanpa sebab. Pasti ada alasan lain mengapa lelaki itu tiba-tiba menjadi seperti ini ...

Ya, pasti ada hal lain ...

"Kalau gue terpilih jadi anggota baru ekskul jurnalistik, jangan menghindar lagi dari gue, Ra. Gue pengin lo menganggap gue sebagai teman biasa, bukan sebagai pengancam yang bikin lo ketakutan setiap kali ketemu sama gue."

Ira membeku. Mulutnya yang semula terbuka langsung tertutup kembali.

Ada apa dengan laki-laki ini?

✨✨✨

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang