11: Things we want to say (Part 1)

7 2 0
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Kedua pasang mata yang jernih itu masih setia bertaut pandang. Perbincangan di antara keduanya hanya diisi oleh senyap, memunculkan tanda tanya baru yang perlu jawaban. Apakah, kenapa, dan bagaimana ... kalimat dengan kata-kata itu berputar di kepala masing-masing.

Ira pun tenggelam dalam angan-angannya, pikirannya berkelana—membawanya kembali kepada ingatan tentang perbincangan sore itu. Ia benar-benar tak sadar kalau dirinya sudah mengabaikan semua panggilan yang sedari tadi bergema dari ujung ruang makan. Rianti—sang ibunda, hanya bisa menghela napas ketika menemukan putrinya sedang duduk di sofa dengan raut wajah penuh lamunan. Huft. Pantas saja gadis itu sama sekali tak bersuara saat ia memanggilnya.

"Ira? Syaira?" Dengan segala pertimbangan, Bunda pun akhirnya menyentuh bahu Ira. Gadis itu tersentak, lalu menoleh cepat ke arah Bunda yang ternyata sudah duduk di sebelahnya sambil melemparkan sebuah senyum hangat.

"I-iya, Bunda? Kenapa?" jawab Ira terbata, buru-buru merapikan buku-buku pelajarannya yang berserakan di meja. Ah, masalah dengan cowok perparas menawan itu sudah membuatnya beberapa kali tidak sadarkan diri. Hah, dasar laki-laki tidak waras!

"Kamu, tuh, ya," Bunda kini menatapnya dengan khawatir, sementara salah satu tangannya terulur untuk mengusap rambut putri semata wayangnya. "Kalau ada apa-apa, cerita sama Bunda dong, Nak. Kamu dari tadi Bunda panggil enggak nyahut-nyahut, loh. Bikin was-was aja."

Ira mengulum bibirnya, merasa bersalah. "Ma-maaf, Bunda. Ira tadi cuma kepikiran sesuatu aja. Tapi, 'sesuatu'-nya itu bukan apa-apa, kok. Beneran. Kebetulan aja Ira terlalu serius mikirinnya."

Senyum keibuan yang selalu disukai Ira itu pun terlihat di wajah Bunda. Wanita dengan paras cantik yang tak memudar itu kembali mengelus rambut putrinya, menatap mesra. "Bunda tahu, kalau semakin kamu besar, semakin banyak hal yang harus kamu pikirin, Ira. Tapi, inget pesannya Bunda. Jangan memendam terlalu banyak hal sendirian. Maka dari itu, kapanpun kamu merasa butuh, kamu selalu bisa cerita ke Bunda, ya, Sayang."

Manjur, hati Ira pun langsung menghangat mendengarnya. Gadis itu mengangguk, merasa nyaman ketika tangan sang ibu masih singgah di rambutnya. "Iya, Bunda. Nanti, Ira bakalan cerita, ya."

"Iya. Bunda tunggu, ya, Sayang." Bunda tersenyum, balas mengangguk. "Oh, iya. Minggu depan, 'kan, ayahmu pulang. Nah, nanti mau masak gudeg, enggak?"

Raut wajah Ira yang semula mendung itu seketika mencerah. Kabar kepulangan ayahnya yang terlambat beberapa minggu itu memang agak mengecewakan, tetapi perasaan senang yang meluap-luap untuk menyambut kedatangan sang ayah tak mampu ia sembunyikan. Gadis itu menoleh riang ke arah Bunda, seraya memamerkan senyum manis yang merekah indah di wajahnya. "Boleh, Bunda! Ah, nanti juga masak sayur asem, ya! Ayah, 'kan, paling suka sayur asem buatan Bunda."

Lengkungan di bibir Bunda semakin melebar. Wanita paruh baya itu memegang pundak gadis itu lembut sebelum beranjak dari duduknya. "Iya-iya. Kalau gitu, minggu depan kita masak bareng, ya, Sayang. Omong-omong, Bunda balik ke dapur dulu. Bentar lagi makan malam soalnya. Jangan sampe Bunda harus dateng ke sini lagi cuma buat manggil kamu ke ruang makan."

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang