13: Things you don't know about me (Part 1)

15 4 3
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Ketika Ira bertanya kepada Gemilang mengapa ia bisa mengetahui tentang keberadaan Rumah Seni Nirmala, lelaki itu pun segera mengangkat bahu, menunjukkan sebuah cengiran yang kini terlihat amat menyebalkan di mata Ira.

"Gue cuma pernah ke sini beberapa kali, kok. Masih inget enggak, soal kakek nenek di pameran seni kemarin? Nah, mereka yang dulu ngajakin gue ke sini pas masih SD. Gue mana tahu kalau yang punya tempat ini ternyata tante lo."

Setelah berbicara empat mata dengan cowok itu, Ira pun akhirnya mengalah dan memutuskan agar bersikap sewajarnya saat sang bibi mengajaknya masuk dan bertanya mengenai sosok remaja lelaki yang tengah bersamanya.

Widya—bibi Ira, cuma bisa tertawa saat keponakannya bersikeras mengenalkan bocah lelaki itu sebagai 'teman dekat'-nya. Meski hanya melihatnya sekilas, Widya seratus persen yakin jika kedua sejoli itu sempat bergandengan tangan.

"Oh, ya? Tante baru tahu, loh, kalau kamu punya temen deket laki-laki, Ra. Omong-omong, salam kenal, ya, Gemilang. Saya tantenya Ira, kakak dari ayahnya," ujar Widya ramah, mengulurkan tangan kanannya yang disambut tak kalah ramah oleh Gemilang. Ira yang memperhatikan interaksi itu pun langsung melengos, membatin dalam hati.

Kalau kayak gini, sih, Tante Widya pasti bakalan ketipu sama sikapnya Gemilang.

"Salam kenal juga, Tante. Saya jadi enggak enak karena jadi ngerepotin gini," cicit Gemilang kemudian, tanpa ba-bi-bu membuktikan perkataan Ira soal sikap manisnya. Benar, 'kan? Gemilang memang ahlinya dalam hal 'beramah-tamah'.

"Aduh, enggak ngerepotin, kok, Gemilang. Justru Tante malah seneng karena ada orang lain yang tahu soal rumah seni ini. Kamu bisa lihat sendiri, 'kan, tempatnya enggak begitu strategis dan cenderung nyempil di ujung perempatan jalan? Ya, intinya, sih, Tante seneng banget karena kamu tahu tempat ini."

Apa yang dikatakan oleh Widya memang benar. Rumah Seni Nirmala bukanlah sebuah lembaga kursus kesenian yang amat besar seperti di pusat kota. Rumah seni ini hanyalah sebuah rumah biasa dengan pelataran yang cukup luas, yang kemudian disulap menjadi tempat belajar melukis maupun lokasi workshop kecil-kecilan. Yang berperan sebagai penanda keeksistensian rumah ini pun cuma sebilah papan nama yang tergantung di depan rumah, dan beberapa lukisan yang terpasang di dinding pelataran. Saking 'biasa'-nya, Widya, Ira, dan Gemilang pun kini duduk melantai sambil menikmati beberapa kudapan yang telah disiapkan.

"Oh, iya. Tante ke dalam dulu sebentar, ya," Widya tiba-tiba beranjak dan menepuk bahu Ira pelan, "Tante lupa ngasih tahu kemarin. Vas bikinan kamu kemarin udah selesai diwarnain sama anak-anak. Kamu bisa ambil di taman samping, ya."

Ira tampak mengerutkan dahi sebelum akhirnya mengangguk paham. "Ah, vas yang waktu itu, ya, Tante? Oke, makasih banyak, Tan. Nanti Ira ambil pas mau pulang, ya."

Senyum tipis Widya pun mengembang, mengiakan perkataan keponakan tersayangnya. Sosoknya yang supel dan energik itu pun kemudian berlalu, memberi kesempatan kepada Gemilang yang sedari tadi menyimpan rasa penasaran.

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang