13: Things you don't know about me (Part 2)

10 2 4
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

"Gemilang ternyata jago, ya, menggambarnya!"

"Iya, loh, Nak. Gambaranmu bagus sekali!"

"Beneran, Nek, Kek?"

"Iya. Kamu bisa jadi seniman terkenal nanti kalau diasah terus menggambarnya!"

Cklek!

Kedua mata indah yang terpejam itu terbuka. Empunya celingukan, lalu sebuah senyum kecil pun terbit saat ekor matanya tak sengaja menangkap sosok di bingkai pintu. Raut wajah lelaki itu semakin melunak, melambaikan salah satu tangannya. Bermaksud meminta sosok kecil itu mendekat.

"Kenapa, Angkasa? Ada yang mau ditanyain ke Kakak?"

Beringsut mendekat, bocah lelaki berumur tujuh tahun itu pun menundukkan kepalanya. Kedua tangan mungil yang masih terasa halus itu mengeratkan genggaman pada sebuah buku tulis yang dibawanya.

"Kenapa? Mau minta bantu kerjain PR, ya?" tanya Gemilang kemudian, setelah waktu lima belas detik berpilin di antara keheningan.

Pelan, adiknya itu mengangguk. "I-iya, Kak. Aku enggak ngerti cara kerjainnya. Padahal, tadi udah belajar sama Mama."

Meski terdengar samar, lelaki itu menghela napas berat. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan wajah sembap Angkasa yang menandakan bahwa bocah lelaki itu sudah berusaha keras menyelesaikan tugas tanpa dirinya. Ah, ralat. Menyelesaikan tugas di bawah tekanan yang amat mengerikan, lebih tepatnya.

"Ya udah. Sini. Biar Kakak lihat dulu, ya, tugasnya. Nanti Kakak kasih tahu kamu gimana caranya ngerjainnya," ujar Gemilang seraya tersenyum, menyingkap selimutnya yang berantakan agar tidak memakan tempat.

Melihat kakaknya yang tak segan menawarkan bantuan seperti biasanya, membuat Angkasa tak dapat menahan lengkungan bibirnya. Giginya yang tanggal dua itu terlihat, membuat Gemilang merasa yakin bahwa setidaknya untuk hari ini, ia dan adik semata wayangnya itu akan baik-baik saja.

Namun, kenangan-kenangan lama yang sudah terkubur itu sayangnya kembali terngiang di otaknya. Gemilang tak bisa berbohong jika alam bawah sadarnya itu lagi-lagi mendambakan sebuah hal yang sama sekali tak mungkin ia lakukan sekarang. Ia lebih dari tahu kalau hal-hal yang mustahil itu hanya akan menyulut kemarahan, kesedihan, dan kebencian tak berujung yang mampu membinasakan.

Gemilang sudah cukup paham saat suara bantingan vas dan teriakan-teriakan penuh amarah membumbung tinggi di langit-langit rumah, meninggalkan isak tangis dan mengorek luka lama yang masih menganga.

Dan di saat itulah, sepasang bola matanya menangkap keberadaan sang ibu yang tengah memandang kedua anaknya dengan tatapan tak terbaca. Wanita paruh baya itu, Mama ... berdiri di sana dengan rambut yang acak adut dan perawakan rapuhnya seperti biasa.

"Gemilang. Janji, ya, sama Mama. Kamu harus jadi orang yang sukses. Lebih sukses daripada laki-laki itu. Pokoknya harus ... "

"Janji, ya, Gemilang ... Janji ... "

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang