7: The sudden things (Part 2)

9 4 1
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

"Hah? Kamu enggak bisa temenin aku hari Minggu nanti, Ra?"

Ira langsung mengangguk cepat, menangkupkan kedua tangan seraya memejamkan matanya.

"Iya, An. Aku beneran minta maaf, ya. Padahal, aku udah bilang mau temenin kamu ke toko buku pas hari Minggu nanti. Duh, sekali lagi aku minta maaf, ya, An ... "

Di jam istirahat pertama yang cukup singkat, Ira akhirnya memutuskan untuk segera menemui Anaya dan menjelaskan perihal dirinya yang tak bisa hadir menemani cewek itu di hari Minggu nanti. Sebuah tawaran yang tak sengaja ia ucapkan tempo hari kepada Gemilang-benar-benar mengacaukan segalanya.

Siapa yang dapat menduga kalau Gemilang malah mengiakan tawarannya?

Sejenak, gadis berambut panjang itu hanya diam mendengarkan penuturan teman dekatnya. Namun, kekhawatiran yang Ira rasakan langsung memudar saat melihat Anaya justru tersenyum lebar dan menggeleng pelan.

"Kamu, tuh, ya, kalau emang enggak bisa temenin aku enggak apa-apa, kok, Ra. Lagian, aku, 'kan, ke toko buku cuma mau cari buku keluaran terbaru. Gibran juga bisa temenin aku, kok, sekalian nyari referensi buat tugas makalahnya. Jadi, kamu tenang aja, Ra. Oke?"

Ira mencebikkan bibirnya, tak bisa menahan diri untuk tak memeluk teman dekatnya itu. "Uh, kamu emang temen terbaik aku, An! Makasih banyak, ya!"

Anaya cuma bisa tertawa kecil sembari menepuk-nepuk punggung Ira pelan. "Iya-iya, aku emang temen terbaik kamu, Ra. Eh, tapi aku penasaran. Kenapa kamu tiba-tiba enggak bisa nemenin aku hari Minggu nanti? Ada sesuatu yang penting, ya?"

Pertanyaan yang dilontarkan Anaya membuat Ira sontak menyengir. Bagaimana cara Ira mengatakan kepada Anaya kalau sosok yang ia sukai sejak kelas sepuluh ternyata menerima tawaran tak sengajanya untuk bersama-sama pergi ke pameran seni?

Ira masih mengingat dengan jelas bagaimana dirinya gelagapan setelah ajakan itu meluncur bebas dari mulutnya. Ia masih berpikir untuk menyusun kata-kata yang tepat saat Gemilang menganggukkan kepalanya. Menyetujui ajakan cewek itu.

"Hm, boleh. Gue mau."

"Eh?! Gemilang?"

"Kenapa? Kali ini gue juga enggak boleh ikut? Padahal, lo sendiri yang ajakin tadi."

Begitulah percakapan mereka berdua di kedai es krim kemarin. Ira yang masih kebingungan (meskipun dia sendiri yang menawari Gemilang tanpa sadar) hanya mampu terpana di tempatnya. Termasuk ketika cowok itu menyodorkan ponsel-bermaksud meminta nomor telepon milik Ira.

"Kalau gue emang beneran bisa ikut ke pameran bareng lo, gue minta nomor telepon lo. Enggak mungkin, 'kan, gue harus muterin satu alun-alun cuma karena nyari lo doang pas hari-H nanti?"

Akhirnya, dengan segala pertimbangan di kepala, Ira pun memberikan nomor teleponnya kepada cowok itu. Gemilang sebagai penerima nomor pun sempat meneleponnya sebentar, mencoba untuk meninggalkan nomornya di ponsel Ira agar perempuan itu tak perlu mengetik lagi.

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang