✨✨✨
Ira masih setia menundukkan kepala, meskipun lelaki bernama Gemilang itu mulai mendekat ke arahnya. Gadis itu mengulum bibirnya, menahan gejolak perasaan yang terasa membuncah di dada. Bukan, ini bukan perasaan bahagia yang biasanya ia rasakan setiap kali melihat cowok itu. Melainkan perasaan takut—takut bahwa cowok itu akan sungguh-sungguh melaksanakan ucapannya.
Melihat respons yang ditunjukkan gadis itu, sontak membuat Gemilang mendengus geli. "Iya, itu emang gue. Terus, karena lo udah tahu apa yang udah gue sembunyiin selama ini," tiba-tiba, Gemilang mendekatkan wajahnya pada gadis itu, "lo harus tutup mulut dan turutin semua keinginan gue. Kalau enggak ... gue pastiin lo enggak akan hidup nyaman di sekolah ini selama ada gue."
Mengingatnya saja, sudah membuat Ira ingin menangis sekencang-kencangnya.
"Eh, Ra. Gue udah nyapa, loh. Lo enggak mau nyapa balik, gitu?"
Ira langsung memejamkan mata, diam-diam meringis karena Gemilang tiba-tiba menjadi sok akrab dengan dirinya. Yah, mereka berdua memang sudah saling kenal karena wawancara kemarin. Tapi, bukan berarti ia sudah sedekat itu, 'kan, dengan Gemilang?
Gadis itu akhirnya mengembuskan napas berat dan membalas sapaan cowok itu singkat.
"Hai ... juga, Gemilang." Sepasang mata bulatnya kembali memandangi lantai keramik ruangan ekskul yang mengilap.
Mendengar sapaan yang dilontarkan gadis itu lantas membuat Gemilang tersenyum tipis. Sepasang mata beriris cokelat tua miliknya itu pun kemudian memperhatikan ruangan ekskul jurnalistik yang nyaris tak berpenghuni.
"Btw, ke mana anggota eskul jurnalistik yang lainnya? Masa cuma lo sendiri yang jaga?" tanya Gemilang, sedikit penasaran.
Ira lagi-lagi memejamkan matanya, berdesis pelan mengapa cowok itu tidak segera pergi dari sana. Ia melirik ke arah lelaki itu sejenak. "Yang lain lagi ke kantin. Aku di sini sekarang karena sekalian mau ngerjain desain buat majalah sekolah edisi terbaru."
Udah, 'kan? Please, jangan tanya-tanya lagi, Gemilang!
Cemas, Ira benar-benar berharap bahwa Gemilang segera pergi dari ruangan ekskul jurnalistik sebelum ada anggota lain yang melihatnya. Ah, tidak. Lebih tepatnya, jangan sampai Alfa dan Darel melihat dirinya dan Gemilang berduaan lagi untuk sementara waktu. Ira cukup beruntung karena kedua cowok itu lebih memilih diam daripada bertanya mengenai kejadian kemarin.
Namun, jawaban yang diberikan cewek itu justru memicu permasalahan yang lain. Ira langsung melongo kaget saat mendengar ucapan lelaki itu.
"Wait. Tadi lo bilang mau ngerjain desain buat majalah sekolah, 'kan? Berarti lo anak divisi desain, ya? Oke. Gue bakalan daftar di divisi itu juga."
"Hah? Kamu tadi bilang apa, Gemilang?!" Ira berdiri dari tempatnya, menatap Gemilang tak percaya.
Cowok itu mendengus geli, memperlihatkan formulir yang baru saja ia dapatkan kepada Ira. Senyum miringnya terbit, seiring dengan jari telunjuknya yang mengarah pada salah satu bagian formulir yang wajib diisi. Ira menggigit bibir bagian bawahnya.
"Seperti yang bisa lo lihat, di sini ada beberapa pilihan divisi yang wajib gue pilih salah satu. Awalnya, gue, sih, bingung mau milih divisi apa. Soalnya yang ada di pikiran gue cuma satu. Gue harus masuk ekskul jurnalistik supaya lo enggak bisa main kabur begitu aja. Dan tanpa gue duga, lo malah ngasih jawaban tepat dan tercepat buat nentuin divisi mana yang seharusnya gue pilih. Makasih banyak, ya, Ra. Lo udah ngasih gue kesempatan yang lebih besar buat nepatin janji gue ke lo, di ruang kesenian kemarin."
Mendengar jawaban Gemilang, membuat Ira membeku dengan sempurna. Sebenarnya ... apa yang telah terjadi? Bukankah kemarin keadaannya masih baik-baik saja—setidaknya, sebelum pertemuan mereka berdua di ruang kesenian?
Wawancara dengan orang yang ia sukai, berbincang-bincang ringan sambil bertukar senyuman, dan jawaban cerdas yang mengagumkan itu ... apakah semua itu hanya mimpi semata? Apakah cowok itu sekarang sama sekali tak peduli dengan wawancara itu? Apakah hanya Ira yang menganggap momen wawancara mereka begitu spesial?
Ira mulai mengepalkan kedua tangannya. "Jadi, dalam kalimat lain, kamu mau masuk ekskul ini cuma karena kamu pengin gangguin aku, gitu?"
Gemilang pun mengangguk mantap, menghancurkan harapan Ira dalam sekali tepukan. "Yup. Gue rasa lo bisa anggep motif gue buat masuk ekskul ini seperti itu. Lagian, gue, 'kan, udah ngomong kayak gitu di ruang kesenian kemarin. Masa enggak gue tepatin?"
Ira mengembuskan napasnya pelan, berusaha mati-matian untuk menahan emosinya. "Kamu itu ... sebenernya mau apa, sih, Gemilang?" Ira menatap lelaki di hadapannya itu lekat-lekat, "aku minta maaf sebesar-besarnya kalau kamu memang semarah itu karena aku enggak sengaja dengerin omongan kamu kemarin. Kamu juga masih inget, 'kan, kalau aku udah janji buat enggak ngomong soal itu ke siapa-siapa? Aku ngerti kalau itu privasi kamu, Gemilang. Aku pun enggak mau kalau kamu sampai diomongin sembarangan sama orang-orang cuma gara-gara hal itu. Tapi, kenapa sekarang ... kenapa sekarang kamu sampai segitunya buat bikin aku ngerasa terancam kayak gini? Aku ada salah apa, sih, ke kamu?"
Siapa yang pernah menyangka bahwa waktu sehari sudah lebih dari cukup untuk membuat Ira ingin berteriak sekencang mungkin di depan Gemilang?
Rasa-rasanya, gadis itu sudah tak kuat lagi dan ingin menyadarkan cowok itu bahwa keadaan sekarang sungguh tak mudah baginya. Gemilang yang baik hati, lembut, dan sopan—seolah-olah tak pernah ada—lenyap, diterbangkan angin puting beliung.
Melihat wajah Ira yang merah padam, membuat Gemilang tak kuasa menahan tawanya. Ia melipat formulir pendaftarannya, lalu mendekat ke arah gadis itu sekali lagi. Persis seperti yang ia lakukan di ruang kesenian kemarin.
Ira sedikit memalingkan wajahnya ketika cowok itu mulai berbisik kepadanya—sebagai usaha pertahanan benteng hati kecilnya. Kemudian, lewat pantulan cermin, gadis itu dapat melihat bahwa beberapa kawan ekskulnya mulai berjalan ke arahnya dan Gemilang. Mereka datang membawa beberapa makanan ringan sebagai ajang untuk melepaskan stres, beserta susu kotak stroberi titipan cewek itu.
"Gue juga udah bilang soal itu kemarin, 'kan?" Gemilang melirik sekilas sisi samping wajah Ira yang begitu dekat dengannya, "Lo salah besar karena udah jadi orang pertama yang tahu rahasia terbesar gue selama beberapa tahun terakhir dan gue sama sekali enggak suka, Ra. Besok, gue bakalan balikin formulir ini untuk kalian proses. Gue pergi dulu dan gue harap lo enggak lupa dengan apa yang udah gue bilang hari ini, Ra. See you, ASAP."
Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi, Gemilang langsung melangkahkan kaki jenjangnya dan meninggalkan Ira yang masih terbungkam dalam kebingungan. Ira dapat merasakan kedua lengannya mulai digoyang-goyangkan oleh anggota ekskul yang baru datang—menanyakan perihal Gemilang yang baru saja keluar dari ruangan ekskul mereka.
Ira hanya tersenyum tipis, menjawab pertanyaan mereka singkat dan berterimakasih atas susu kotak stroberi pesanannya. Setelahnya, gadis itu pun melenggang pergi dari sana, membiarkan beberapa teman satu ekskulnya merengut akibat pertanyaan yang belum sempat terjawab.
✨✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kilau Sang Gemilang
Teen FictionKilau Gemilang Satria. Ya, dialah orangnya. Sesosok lelaki yang bisa menarik perhatianmu kapan saja--menyedotmu dalam pesonanya yang tak bercela. Ia seolah bersinar bermandikan cahaya, lagi misterius layaknya malam yang hampa. Sejujurnya, tak ada ha...