4: What is the motive? (Part 1)

10 4 1
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Awalnya, Alfa tak begitu percaya saat teman-temannya heboh membicarakan bahwa Gemilang mencalonkan diri sebagai anggota baru ekskul jurnalistik. Setidaknya, sampai sosok yang dibicarakan benar-benar muncul dan menyerahkan formulir pendaftaran ke meja yang ia tempati sekarang.

"Gemilang. Lo serius mau masuk ekskul ini?" tanya Alfa sangsi, sambil menatap formulir pendaftaran Gemilang berkali-kali.

Lelaki beriris cokelat tua itu mengangguk mantap, tersenyum miring membalas pertanyaan teman segugusnya sewaktu kelas X itu. "Iya, gue serius. Emangnya kenapa, sih? Gue enggak boleh join, ya?"

"Bukan. Bukan gitu maksud gue," cowok berambut ikal itu sontak menggeleng. "Lo bukannya udah sibuk sama pelatihan OSN, ya? Maksud gue, ekskul jurnalistik, 'kan, lagi ada proyek besar-besaran buat bulan bahasa nanti. Lo enggak apa-apa gitu, join ekskul lain pas lagi sibuk-sibuknya?"

Kekehan kecil pun dapat terdengar dari mulut Gemilang. Lelaki itu mengangkat kedua bahunya santai. "Ya, enggak apa-apa, lah, Al. Lagian, pelatihan OSN bakalan mulai longgar lagi, kok. Kemarin ada perombakan tim olimpiade, makanya sibuk pelatihan terus. Selain itu, gue juga butuh kesibukan baru selain pelatihan OSN, 'kan?"

Mendapatkan jawaban seperti itu dari Gemilang, akhirnya membuat Alfa mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Cowok itu pun kemudian memeriksa formulir milik Gemilang—untuk mengecek apakah formulir sudah diisi dengan lengkap atau tidak. Namun, rasa keterkejutan kembali meliputi hatinya saat melihat divisi ekskul yang dipilih lelaki berparas rupawan itu. Alfa mengusap tengkuknya, melirik seorang lelaki yang tampaknya ingin segera meninggalkan ruangan ekskul jurnalistik yang nyaris kosong itu.

"Udah, 'kan, Al? Gue balik ke kelas, ya—"

"Eh, bentar, Lang. Gue mau nanya sesuatu ke lo."

Gemilang pun menoleh, memiringkan kepalanya. "Hm? Tanya apa?"

Alfa mengembuskan napasnya sejenak, meletakkan kembali formulir yang semula ia genggam.

"Lo ... kenapa milih divisi desain? Gue pikir lo mau masuk divisi jurnalis—secara lo, yah, pernah beberapa kali nulis artikel."

Gemilang pun menghadap sepenuhnya ke arah Alfa, sebuah senyuman penuh arti perlahan-lahan terbit di wajah tampannya. Alfa membeku—ini pertama kalinya ia melihat ekspresi seperti itu dari Gemilang.

Bentar, deh. Jangan-jangan ...

Alfa mendongak, tatapan matanya mengarah lurus pada Gemilang.

Jangan-jangan, semua ini ... ada hubungannya sama Ira?

"Jangan khawatir kayak gitu, Al. Kalaupun gue masuk ke ekskul ini dan milih divisi desain karena sesuatu ... harusnya enggak akan jadi masalah buat lo, 'kan?"

Alfa pun terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun—bahkan saat Gemilang benar-benar menghilang dari hadapannya.

✨✨✨

Ketik.

Hapus.

Ketik.

Hapus.

Ira lantas mengembuskan napas berat, menangkupkan wajahnya dengan lemas sembari menatap layar laptop yang masih kosong di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat itu pun kemudian melirik ke arah meja, membaca proposal desain majalah sekolah yang disusun oleh pengurus ekskul angkatan sebelumnya. Tanpa sadar Ira jadi mengembuskan napasnya lagi, kepalanya mendadak pusing memikirkan desain majalah yang harus diajukan ke guru pembina ekskul jurnalistik.

"Hei, Ra. Gue baru balik dari lantai satu, he-he. Lagi ngapain, nih? Kok kelihatannya sibuk banget?"

Ira pun menoleh ke arah samping kanannya, dan mendapati bahwa Kirana—teman sekelasnya, sudah duduk manis di bangku belajarnya. Cewek berambut gelombang itu menatap Ira penuh antusias, sementara mulutnya sibuk mengunyah cireng balado yang baru ia beli dari kios langganannya. Ira hanya tersenyum kecil, membiarkan Kirana yang tampak penasaran dengan apa yang sedang ia kerjakan.

"Aku cuma coba-coba buat nyusun proposal desain majalah, kok, Ran. Sekalian cari inspirasi juga dari majalah edisi sebelumnya. Soalnya bakalan ada pertemuan sore ini sama anggota ekskul."

"Oh ... desain buat majalah edisi terbaru itu, ya? Denger-denger, 'kan, anak jurnalistik lagi sibuk banget buat nyiapin acara launching buku pas bulan bahasa." Kirana kini sudah ikut melihat-lihat proposal yang Ira pinjam dari kakak kelasnya sambil menyantap jajanan favoritnya itu.

Ira mengangguk, membenarkan perkataan Kirana. "Iya. Makanya itu aku mau coba siapin dari sekarang."

"Loh, emang udah ada idenya?" Kirana mendongak, kedua matanya tampak berbinar terang oleh rasa ingin tahu.

"Iya, udah ada idenya, kok. Tapi masih belum matang. Harus didiskusiin lagi sama ketua ekskul dan guru pembina. Aku di sini cuma mau nyesuaiin format supaya sesuai sama proposal angkatan sebelumnya."

Kirana membentuk huruf 'O' dengan mulutnya. Manggut-manggut mendengar jawaban Ira. Gadis itu pun menyuapkan sebuah cireng balado ke mulutnya lagi, sambil melontarkan pertanyaan baru kepada Ira.

"Ngomong-ngomong soal ekskul jurnalistik, katanya si Gemilang mau jadi anggota baru, ya? Itu beneran enggak, sih?"

Gerakan jari Ira pada keyboard laptop pun berhenti, sesaat setelah pertanyaan itu meluncur dari mulut Kirana. Gadis itu membeku, sebuah ingatan tak menyenangkan pun tiba-tiba singgah di otaknya. Padahal, Ira sudah mati-matian menyibukkan diri untuk melupakan lelaki itu, tetapi mengapa Kirana malah mengingatkannya semudah itu? Ira menyunggingkan senyum tipis, mengangguk singkat menjawab pertanyaan Rana.

Kabar Gemilang yang mencalonkan diri sebagai anggota baru ekskul jurnalistik telah menyebar cepat layaknya wabah di SMA Bakti Jaya. Tak membutuhkan waktu lama, berbagai pertanyaan seputar perekrutan anggota baru ekskul pun mencuat—dalam waktu singkat menjadi topik yang paling banyak dibicarakan di sekolah. Walaupun Kirana tidak bertanya langsung padanya seperti itu, Ira yakin cepat atau lambat pikiran mengenai lelaki itu akan segera memenuhi kepalanya. Menumpuk, membuatnya meringis ketika mengingat segala hal yang sudah terjadi di antara mereka.

Hah ... aku capek banget!

"Wah, jadi beneran, ya? Kalau gitu ... kira-kira, Gemilang pilih divisi apa, ya?"

Dia pilih divisi yang sama kayak aku! Tapi, sayangnya aku enggak suka! Batin Ira berteriak, merasa tertekan dengan kenekatan cowok itu yang sama sekali tak pernah ia duga.

"Wait. Tadi lo bilang mau ngerjain desain buat majalah sekolah, 'kan? Berarti lo anak divisi desain, ya? Oke. Gue bakalan daftar di divisi itu juga."

Ira tiba-tiba berdiri dari bangkunya, membuat Kirana yang masih sibuk dalam imajinasinya berjengit kaget.

"Ran, aku pergi sebentar, ya. Titip laptopku sama proposalnya, ya. Makasih," ujar Ira, yang disambut Kirana dengan sebuah anggukan kaku.

"Hah? O-oke."

Tak menghiraukan Kirana yang masih plonga-plongo karena tingkahnya, Ira pun melangkahkan kaki dari kelasnya—meninggalkan kelas yang riuh itu untuk mencari ketenangan.

✨✨✨

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang