12: After the reconciliation (Part 1)

7 2 2
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨

Sebenarnya, apa yang Ira dapatkan dengan menaruh harapan terhadap pertemuan mereka di sore itu?

Ira seketika mendengus, menopang dagunya dengan salah satu tangan. Kini kedua matanya sudah berpindah fokus kepada seorang lelaki yang entah sejak kapan sudah melenggang masuk ke dalam ruangan ekskul jurnalistik, mengerjakan tugas calon anggota ekskul yang harus dikumpulkan minggu depan. Ya, kalian tak salah menebak. Lelaki itu adalah oknum bernama Gemilang.

Kaget? Tentu saja. Ira tentu kaget saat melihat cowok itu sudah duduk manis di sebuah bangku yang tak jauh dari meja kerjanya. Cowok itu pun tersenyum riang saat melihat Ira tiba di bingkai pintu, melambaikan tangan akrab seolah-olah sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Gadis itu pun tak punya pilihan lain selain membalas lambaian tangan itu, apalagi setelah menyadari bahwa beberapa pasang mata tengah menggeliat, memperhatikan mereka berdua.

Ya. Hal ini seharusnya terasa lebih baik kalau Ira mulai menerima kenyataan bahwa Gemilang memang sangat suka menjalin kedekatan dengan semua orang, terlepas dari apapun motifnya. Ira sendiri pun masih merasa kesulitan untuk memahami cowok itu sepenuhnya.

"Ah! Hai, Ra. Kebetulan banget ada yang mau gue omongin ke lo, nih! Penting!" Seperti biasa, selaku ketua ekskul jurnalistik SMA Bakti Jaya, Darel masih sibuk mengurusi persiapan untuk acara launching buku sekolah. Siapapun bisa melihat kalau cowok berkulit sawo matang itu sejak tadi menulis sesuatu di buku catatannya, lalu memeriksa komputer sekolah yang memang dikhususkan untuk keperluan ekskul.

"Jadi gini, Ra," Ira dan Darel melipir ke ujung ruangan, membuat cewek berambut sebahu itu urung bertanya soal kehadiran Gemilang yang sama sekali tidak terlihat memberatkan siapapun yang berada di ruangan itu.

"Kemarin, divisi kalian—divisi desain, udah nyerahin sampel majalahnya ke Bu Rani, 'kan?" Pelan, Ira mengangguk. Ia tiba-tiba menjadi gugup saat mendengar Darel menyinggung sampel majalah yang telah mereka serahkan. Apa desain mereka akhirnya ditolak, ya? Apakah ada yang tidak beres dengan hasil kerja mereka?

Seakan-akan tahu mengenai isi pikiran Ira, Darel segera tersenyum lebar. Tangan kanannya mendadak terulur, memperlihatkan sebuah ruangan obrolan yang menunjukkan Bu Rani sebagai lawan bicaranya. Ira yang mengerti akan maksud cowok itu pun langsung menunduk, dan tak lama kemudian sebuah senyuman pun tercetak manis di wajahnya. Ada kabar bahagia yang tertera di layar ponsel cowok itu.

"Gimana? Kaget, 'kan? Langsung diterima, loh, desain majalah kalian!" ujar Darel gembira, persis seperti orang yang menang lotre sebesar satu miliar.

Melihat reaksi Darel yang tak kalah bangga, Ira pun ikut mengangguk senang. Benar, ini kesempatan yang lumayan langka. Jarang-jarang divisi desain bisa menembus 'seleksi' Bu Rani yang amat ketat dalam sekali coba.

"Syukur deh, kalau gitu. Tapi, Rel, Bu Rani beneran sama sekali enggak minta revisi, kah?" tanya Ira kemudian, menatap lamat-lamat lelaki di hadapannya.

"Kamu tahu sendiri, 'kan, kalau Bu Rani agak ketat orangnya. Kemarin aja pas kami pertama kali nyerahin proposal desain, langsung disuruh cetak sampel majalah sama beliau."

Darel tampak memiringkan kepalanya, berpikir sebentar. "Sebenernya, kalian enggak perlu revisi banyak-banyak, sih, Ra. Overall, respons Bu Rani udah bagus ke sampel majalah kalian. Mungkin pas majalahnya udah dicetak buat massa, kita harus mastiin hasil cetakannya bagus dan enggak ada kesalahan tata letak."

Mendengar penjelasan Darel membuat Ira mengangguk paham. Baiklah, tugas ekskul jurnalistik sekarang tinggal mengakomodasi biaya percetakan sekaligus mempromosikan acara launching buku bersama OSIS.

Tak lama, Darel pun menepuk bahunya. "Ya udah, Ra. Itu aja, sih, yang mau gue omongin sekarang. Nanti kita bicarain lagi di pertemuan besok, ya."

Seiring dengan punggung Darel yang perlahan menjauh, Ira pun tak bisa menahan perasaan lega yang meluap di hatinya. Kerja keras yang selama ini sudah dicurahkan oleh Ira dan anggota divisi desain ternyata tak sia-sia dan mereka pantas untuk mendapatkan reward yang setara. Omong-omong soal reward, apakah ekskul jurnalistik nanti akan mengadakan acara makan-makan seperti kemarin? Kalau memang begitu, Ira benar-benar tak sabar untuk menantikannya!

"Ada apaan sampe lo senyum-senyum terus begitu?"

Ira terkesiap. Kepalanya buru-buru menoleh saat sebuah suara mengusik indra pendengarannya. Kedua matanya membesar, terkejut dengan sosok Gemilang yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.

Lelaki itu mendengus geli, memperlihatkan senyum miring andalan. "Kenapa sampe kaget kayak gitu, sih? Jangan sering-sering kaget, dong, Ra. Gue bukan hantu, loh."

Gadis itu mengernyit heran, melemparkan tatapan tak suka kepada cowok itu. Ya, Gemilang memang bukan hantu. Tetapi, kelakuannya benar-benar mirip hantu. Ira bersungguh-sungguh saat memikirkan hal itu.

"Terserah kamu aja, Gemilang. Aku pergi dulu."

"Eh, bentar dulu," Gemilang segera menyejajarkan langkah dan berdiri tepat di hadapan gadis itu. Ira pun hanya bisa menghela napas, mencoba membangun benteng kesabaran demi menghadapi lelaki super menyebalkan itu.

"Kalau ada hal yang pengin kamu bilang ke aku, cepetan bilang sekarang. Aku pengin balik ke kelas. Bentar lagi, bel masuk bunyi," ucap Ira pelan, sementara kedua kakinya sudah mundur selangkah akibat posisi cowok itu yang terlalu dekat. Rasa-rasanya, Ira bisa mencium aroma segar yang menguar dari tubuh lelaki itu, sama seperti waktu 'itu'.

Pupil mata gadis itu sontak melebar. Ia segera meringis dalam hati, berkali-kali merutuki dirinya sendiri. Aduh, jangan mikirin kejadian itu lagi, Ra! Itu, 'kan, udah lima hari yang lalu!

Tawa kecil yang terdengar familier itu tiba-tiba mengudara. Ira mendelik, melayangkan kilat tajam pada tersangka yang malah sibuk mengulum senyum. Menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan tawa yang lebih keras lagi.

"Astaga. Sekarang Ira udah jadi lebih berani, ya, sama gue? Padahal gue enggak apa-apa, loh, Ra, kalau lo mau nangis—"

"Gemilang!" Ira memelotot, tangannya sudah siap membekap mulut ember milik lelaki itu. Dasar laki-laki gila! Apa, sih, yang ada di otaknya sekarang? Apakah cowok itu mau mengundang desas-desus aneh lagi di antara mereka berdua? Yang lama saja masih belum mereda!

Bukannya merasa takut atau bersalah, Gemilang justru tersenyum dan terkekeh lebih lebar. Cowok itu sepertinya merasa terhibur dengan ekspresi Ira yang terlihat amat konyol. "Ya ampun, Ira. Padahal, gue cuma bercanda, loh. Jangan dibawa serius!" Gemilang menyodorkan beberapa lembar kertas seraya berusaha menghentikan tawanya.

"By the way, ini kerjaan gue selama lima hari. Gue harap itu bisa memenuhi tugas gue sebagai calon anggota ekskul jurnalistik. Oh, iya. In case kalau lo penasaran kenapa gue dateng hari ini, gue ke sini buat ngerjain itu sekalian nungguin lo. Anak-anak yang lain pun enggak keberatan karena udah kenal gue, katanya."

Ira cuma bergeming, sedangkan pandangannya tertuju lurus kepada lembaran kertas yang baru saja diserahkan oleh Gemilang. Lelaki itu ... tanpa sadar sudah menjawab sebuah pertanyaan yang sempat ia urungkan.

"Nah, tugas gue udah selesai, 'kan, sekarang? Jadi, gue pamit dulu, ya, Ra. Sama kayak lo, gue juga pengin ke kelas."

Ting!

Ponsel Ira tiba-tiba berdenting sedetik setelah Gemilang melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ekskul jurnalistik. Kening gadis itu pun langsung mengerut keheranan, sebelum teriakan tanpa suara melesat dari mulutnya.

Gemilang
Ira. Hari Minggu besok, kita kemuan lagi di alun-alun, ya. Ada tempat yang mau gue tunjukkin ke lo.

Oh, iya. Lo kalau mau nangis lagi bilang, ya. Supaya gue bisa siap-siap bawa saputangan buat nampung air mata sama ingus lo.

Peace, Ra. Ha-ha.

✨✨✨

Tentang Kilau Sang GemilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang