"Itu azab gara-gara kamu udah bohongin aku." Lunaisa melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara lelaki di sebelahnya meringis. "Kemarin aku nungguin kamu lama banget di perpustakaan. Kamu gak balik-balik lagi. Bang Toyib kah?"
"Aik! Bukan Bang Toyib, aku ini Bang Jali," bantah Arga ngaco. Luna mencubit pinggang lelaki itu dengan gemas. Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Arga tak henti-hentinya menceritakan insiden kemarin. Mulai dari dia yang berbohong, menabrak si penunggu laboratorium sampai membuat mikroskop rusak total, bundanya yang sudah angkat tangan, terus tiba-tiba ban motornya kempis jadi mereka harus mampir ke tukang tambal ban. Alhasil keduanya jadi terlambat.
Kini lelaki bertubuh jangkung itu mendesah pelan. Bunyi peluit yang mengarahkan anak-anak yang terlambat ke tengah lapangan. Apalah daya. Sekarang dia harus dihukum, padahal kalau dulu pasti sudah kabur.
"Terus berdiri tegak sampai jam pelajaran kedua selesai!!" perintah guru yang terkenal super duper galak itu. Ini bukan pertama kalinya Arga berhadapan dengan wanita itu, tentu saja. Dia langganan masuk BK. Sudah menjadi makanan sehari-hari bertemu dengan guru galak seperti itu.
Arga memutar bola matanya malas lalu menggaruk daun telinganya. Perhatiannya tertuju pada gadis di sampingnya. Sinar matahari yang menyorot dengan hangat membuat Luna sesekali mengedipkan mata karena silaunya. Arga terkekeh halus, lalu memajukan sedikit badannya agar sang gadis terlindung dari sinar matahari.
"Makasih," ucap Luna diiringi senyuman manisnya. Arga tidak merespon, sebaiknya dia fokus menjalani hukuman ini. Rasanya aneh. Arga merasa dirinya di ambang kelabilan. Kadang dia merasa bersungguh-sungguh untuk tobat. Lalu sepersekian detik berikutnya, Arga menyerah jadi orang baik.
"Gue ini kenapa?" gumamnya. Dia kembali melirik Luna, "Kamu udah sarapan?" tanyanya dibalas anggukan kecil. Arga tersenyum, tangannya meraih rambut panjang milik Luna. Seketika dia menjadi antusias. "AKU PINGIN NGEIKAT RAMBUT KAMU!"
"Ih apa sih Arga?? Jangan teriak, malu!" hardik Luna. Wajahnya sudah memerah seperti tomat. Bagaimana tidak, orang-orang jadi memperhatikan mereka sambil memasang raut menggoda.
Arga mengangkat bahunya tidak peduli. Dia senyum-senyum sendiri, sibuk memikirkan gaya apa untuk rambutnya Luna. Tapi masalahnya dia tidak punya karet. Hmm ... pulang sekolah nanti dia harus membelinya yang banyak supaya jadi stok.
"Eh, tapi nanti gue ada latihan basket. Hmm ... Luna, nanti kamu mau pulang duluan atau gimana?"
"Latihan? Umm ... barengan aja deh, Arga. Aku juga gak punya hal mendesak di rumah."
"Tinggal bilang takut kangen aja apa susahnya?" goda Arga. Luna kembali menghujaninya dengan cubitan. Lelaki itu selalu saja menyebalkan.
─ ༊₊˚•.﹆─
GLEK GLEK GLEK
Argantara meneguk air mineral itu hingga setengahnya. Mukanya merah padam. Keringat bercucuran di dahinya. Napasnya sedikit memburu.
"Habis berantem sama siapa, ganteng?" goda Kenzo yang entah datang dari mana. Arga memelototkan matanya ngeri.
"Gila anjir gue berdiri di lapangan dua jam coy!! Aduh kaki gue rasanya mau patah," keluhnya. Sebenarnya Arga saja yang lebay. Ketika tidak ada guru yang mengawasi, Arga sibuk jongkok memainkan tanah di sisi lapangan. Menggambar gunung serta pemandangan sawah. Jangan heran, memang badannya saja yang besar, isinya masih anak kecil.
Ponsel yang ada di saku kirinya tiba-tiba berdering. Argantara terkekeh melihat siapa yang meneleponnya.
📞 El sayang is calling ....
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Boy Arga [SELESAI]
Teen Fiction[ COMEDY ROMANCE ] Apa benar poin plusnya Arga itu hanya soal tampangnya yang sempurna? Tampan, putih, dan tinggi? Tidak ada yang lain? Misalnya rajin, suka menolong, pintar, disiplin, dan gemar menabung? Hmm ... JANGAN HARAP!! Dia Argantara Mahen...