WWW.Me | s e b e l a s

16 1 0
                                    

Hari kedua Faira membolos sekolah ia habiskan untuk memulihkan fisik yang mungkin sudah memberi sinyal untuk menyerah dan meminta untuk tidak melakukan kegiatan itu lagi. Tiga kantong darah yang dikuras dari tubuhnya membuatnya nyaris tak bertenaga. Kondisinya tidak begitu baik akibat insomnia yang mendera namun seperti tak berperikemanusiaan mereka tetap menguras sumber hidupnya. Jika ini terus dilanjutkan, mereka mungkin tak lagi membahas persoalan darah tapi juga nyawa yang melayang.

Selama itu juga, ponselnya sengaja ia matikan. Meski tahu sang sahabat akan khawatir, Faira tetap melakukannya. Sebab jika Faira memberitahu pun, mereka pasti akan mencegahnya melakukan transfusi ditengah aktivitas padat di sekolah beberapa hari terakhir yang tentu saja tidak menguntungkan bagi kesehatannya. Faira memang beberapa kali mampir beristirahat ke UKS saat di sekolah karena mengantuk atau lemas akibat insomnia yang kian parah.

Dan dengan alasan itu pula Nuga, Shasa dan Uci dirundung cemas berlebih setelah dua hari tak kunjung menerima kabar dari Faira. Saat mereka mampir ke apartemen kemarin pun tak ada tanda–tanda keberadaan Faira di sana.

“Faira biasa hilang kontak kayak gini?” tanya Nuga tak lagi bisa menahan khawatir yang menerjang hatinya sejak kemarin tak menemukan keberadaan Faira di apartemen juga ponselnya yang tak bisa dihubungi.

“Enggak, dia selalu ngabarin kalo sakit atau lagi males masuk sekolah. Itu pun jarang banget dianya sampe bolos tanpa kabar gini.” Uci merespon dengan wajah sendu.

“Apa nanti kita cek di apartemen lagi aja? Faira cuma akan tinggal di apartemen pas mau tidur doang soalnya. Gila emang tuh anak, dia sukanya kelayapan sampai lupa waktu,” rutuk Shasa bercampur cemas. Dirinya mencoba mensugesti bahwa Faira hanya sedang mencari udara segar dan mungkin akan sudah ada di apartemen sepulang sekolah nanti. Semoga saja.

Sementara Nuga kembali dibuat tercenung, pantas saja Faira tampak terbiasa pulang hingga larut malam. Mungkin berkeliaran di luar dan berbaur diantara keramaian adalah salah satu trik nya untuk membunuh sepi.

Selain mereka bertiga, ada Danu juga yang ikut mencari keberadaan Faira yang tak terjangkau netranya dua hari terakhir. Saat mencoba menghubungi gadis itu pun selalu tak tersambung. Padahal sekarang–sekarang ini adalah waktu sensitif menjelang pemilihan ketua dan wakil ketua osis. Disaat seperti ini lah strategi mesti sedang gencar–gencarnya di lancarkan karena orang–orang bisa saja berpindah haluan jika lengah sedikit saja. Dan Danu sangat kesal karena Faira justru menghilang di saat genting seperti ini.

“Ekspresi lo dikondisikan bisa? Jangan menarik perhatian sampai menimbulkan gosip tidak menguntungkan sekarang,” tegur Tito karena Danu sesekali memukul meja kantin guna melampiaskan amarah.

“Faira nggak ada kabar dua hari ini. Dia lari dari tanggung jaw—”

“Lo kalo berantem sama pacar lo, jangan rugiin gue.” Tito menegur Danu dengan suara pelan namun sarat akan peringatan. Tito hanya tidak mau dirugikan dengan drama percintaan tak penting antara Danu dan Faira. Meski Faira cukup banyak membantu, tetap saja Tito tidak mau mengorbankan banyak hal hanya karena Danu dan Faira memiliki masalah pribadi. Obsesinya menjadi ketua osis tahun ini jauh lebih penting baginya

Danu yang mengerti akan peringatan tersebut pun kian menumpuk rasa jengkel terhadap Faira. Tanpa menghabiskan makanannya, Danu bergegas keluar kantin dengan ekspresi ramahnya. Menutupi amarah yang berkobar di dada.

“Mana Faira?” tanya Danu begitu memasuki kelas Faira dan mendapati dua sahabat Faira tengah berbincang.

“Nggak tahu kak,” jawab Uci

“Lo, sahabatnya kan? Kenapa bisa nggak tahu?” sarkas Danu.

“Lo pacarnya kan? Kenapa nanya ke kita?” Shasa ikut membalas pedas kata–kata Danu. Kesal juga mendapati Danu yang tiba–tiba sudah berdiri di samping mejanya dan malah bertingkah tidak sopan.

Danu menggerutukkan gigi karena terpancing emosi. Rahangnya yang mengeras membuat siapa pun yang melihat jadi tahu bahwa lelaki itu sedang menahan emosi.

“Suruh dia nelfon gue kalo kalian ketemu.” Danu meninggalkan kelas setelah menitipkan pesan pada keduanya. Tidak ingin berlama–lama yang bisa saja merusak image nya jika sampai hilang kendali.

Nuga yang berpapasan dengan Danu di luar hanya bisa mengernyit bingung kala bahunya ditabrak begitu saja oleh Danu dan lelaki itu malah tidak menghentikan langkahnya atau sekedar berbalik meminta maaf.

“Danu abis ke sini?” tanya Nuga sembari mendaratkan bokongnya di bangku, pertanyaan yang kemudian direspon anggukan oleh Uci sedang Shasa hanya diam tak menggubris.

“Nyari Faira?” tanya Nuga lagi.

“Iya. Trus marah–marah gitu deh,” lapor Uci.

“Kenapa?”

“Karena kita nggak tahu Faira ada dimana. Sinting emang, kenapa nanya di sini kalo ujung–ujungnya mau marah–marah juga.”

Nuga terdiam mencerna kalimat Uci. Kalimat penuh kekesalan diselipi umpatan yang tertuju pada Danu tak lagi menjadi pusat perhatiannya. Nuga lebih kefikiran perihal alasan dibalik menghilangnya Faira, sepertinya bukan sekedar nongkrong seperti biasanya.

“Selain apartemen, Faira biasa tinggal dimana?” tanya Nuga setelah cukup lama terdiam.

Uci mulai memutar otak perihal kemana saja Faira selama meninggalkan apartemennya dan sederet warung makan pinggiran jalan, tempat gym serta tempat lainnya yang kerap menjadi target Faira terlintas di benaknya. Namun Uci rasa, Faira tidak sedang berada dimana pun dari semua tempat barusan. Hingga ucapan Shasa yang sedari tadi membisu terasa melumpuhkan otaknya.

“Kediaman Hutomo.”

Jika Uci mendadak blank, Nuga justru mengernyit kala rungunya mendengar nama yang cukup asing namun familiar disaat bersamaan.

“Ha?” dari beribu tanya yang ada di benaknya, entah kenapa hanya ini yang bisa Nuga keluarkan dari mulutnya.

“Om Surya pasti menyuruh pulang lagi,” Shasa lalu menoleh ke arah belakang dimana Nuga terduduk kaku dengan pandangan ke arahnya. “Lo yakin Faira sampai di apartemennya?”

“Gue yakin anterin dia sampai di apartemen, tapi hanya sampai di lift doang, setelahnya gue pulang.” Nuga mengingat dengan jelas bagaimana dirinya menemani Faira hingga masuk lift. Lalu dia yang berfikir mulai mengangkat kepala, ”Bisa jadi ada orang yang sudah menunggu di depan unit Faira.”

Shasa mendengkus kesal setelah yakin dengan dugaannya. Faira pasti sedang berada di neraka sana dan sedang melakukan hal bodoh. “Faira, bego!”

Umpatan yang keluar begitu saja dari mulut Shasa spontan menarik perhatian orang–orang yang tak sengaja mendengar. Mereka penasaran alasan dibalik umpatan itu terucap, terlebih sang objek tak terlihat atensinya sejak dua hari lalu. Apa yang terjadi pada sang ikon kelas?

Nuga yang tahu garis besar permasalahan Faira pun bisa menebak apa yang sedang gadis itu lakukan dan dimana dirinya berada, tanpa harus diberi tahu. Seperti kata Shasa dan Uci sejak awal pertemuan mereka, Faira benar–benar definisi keras kepala tingkat dewa. Rangkaian kata yang ia lontarkan agar menyudahi sesuatu yang merugikan ternyata tak bisa menghentikan Faira untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Whats wrong with you, Ulfaira Fatin?!

Stop it, please!










Konawe Selatan, 31 Agustus 2022

Irma 

Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang