Hari ini sepertinya dewi keberuntungan tengah berpihak pada Faira. Tiba–tiba saja proses belajar–mengajar tersendat karena adanya rapat dadakan. Hanya si ketua kelas yang menyampaikan tugas titipan guru untuk dikerjakan agar siswa tak berkeliaran di jam belajar. Itu pun dikumpulkan besok lusa sehingga Nuga memilih tidak mengusik tidur Faira dan membiarkannya memulihkan mata pandanya yang tampak mengenaskan.
Faira terbangun setelah jam istirahat berdenting sekitar lima belas menit lalu, dan mendapati Nuga masih duduk di sampingnya sembari bermain game. Namun aktivitas itu tak berlangsung lama begitu Nuga menyadari pergerakan Faira.
“Merasa lebih baik?” tanya Nuga melihat Faira merengganggkan ototnya yang kaku.
“Hm. Seger rasanya.”
“Makanya, kalo udah punya insomnia jangan ditambah kopi lagi,” ledek Nuga yang mencoba biasa saja setelah menghadapi gelombang melankolis beberapa waktu lalu.
“Ck, kopi itu enak ya. Filosofinya juga pas di gue,”
“Apa?” tantang Nuga dengan muka songongnya.
“Kalo pahit pun bisa dinikmati.” Faira memainkan alisnya naik–turun, lalu meraih seporsi nasi goreng di atas meja. “Ini untuk gue, kan?”
Nuga mencibir Faira yang sudah makan dengan lahap. “Ngapain nanya kalo udah dicomot duluan,”
“Thank you, Kang ojek...”
“Sorry ya, gue terlalu kaya buat jadi tukang ojek,”
“Bapak lo yang kaya, lo mah beban,”
“Tanggung jawab, Ra, bukan beban. Menafkahi anak itu kewajiban orang tua. Entar kalo gue udah mapan, baru orang tua gue yang leha–leha nikmatin hasil keringat gue.”
Suapan Faira terhenti di udara. Merasa tertohok dengan realita yang ia hadapi. Bukan hasil keringatnya yang orang tua angkatnya inginkan melainkan tetes darah untuk anak kandung mereka yang sekarat. “Beda. Kita beda, Ga...”
“Nggak. Cuma lo nya aja yang kemakan sikap empati lo yang nggak manusiawi. Lo bisa keluar dari kubangan neraka kalo lo mau, Ra.”
“Tapi Jihan butuh gue,”
“Trus gimana dengan elo?” sarkas Nuga. Sepercik amarah berkobar di matanya mendapati Faira yang tak berniat mundur dari neraka buatannya.
“Gue udah cukup bahagia selama diadopsi mereka. Mereka ngasih fasilitas lengkap, mereka sekolahin gue di sekolah terbaik, gue dapat sahabat baik kayak lo, Shasa sama Uci. Hal yang nggak mungkin bisa gue raih seandainya gue masih di panti asuhan.” Faira sepositif itu dalam menjalani takdirnya. “Orang tua kandung gue bahkan nggak mengharapkan kehadiran gue makanya dibuang ke jalanan. Sementara Jihan... dia butuh gue untuk tetap hidup. Gue ngerasa hidup gue lebih berguna kalo bisa bantuin mereka, Ga.”
Nuga menatap nanar Faira yang malah menyunggingkan senyum mengingat keluarga angkatnya. Faira terlalu naif dalam memandang dunia, hidup bukan hanya tentang hidup mewah dan kebutuhan hidup yang terjamin. Ada kasih sayang yang menjadi elemen dasar alasan manusia untuk bertahan hidup. Namun sepertinya, Faira memandang hidupnya sekelebat saja, sebab dia tidak punya alasan untuk tetap bertahan.
Nuga hanya bisa memandang iba Faira yang harus hidup sebagai nyawa cadangan manusia lainnya. Dia yang terlihat sempurna dengan menularkan kebahagiaan, justru berjibaku dengan luka tak kasat mata seorang diri. Hati Nuga tergerak untuk menjadi pelindung serta pendengar yang bisa Faira andalkan kapanpun dibutuhkan.
“Bodoh.” lirih Nuga yang masih bisa didengar Faira. Namun tak bisa bereaksi lantaran dua orang siswi senior menghampirinya yang masih senantiasa menyantap nasi goreng.
“Lo, Faira, kan?” tanya salah satu siswi berambut cokelat, sebahu. Faira hanya balas mengangguk karena masih mengunyah nasi goreng di mulutnya.
“Danu udah proklamasiin elo, noh di kelas!” imbuh yang satunya lagi.
“Emang hari merdeka pake proklamasi segala,” canda Faira disahuti gelak tawa keduanya. Lain halnya Nuga yang menatap Faira tak percaya karena terlalu pintar memainkan ekspresi.
“Lo lucu ternyata, makanya Danu suka. Oh iya, gue terlalu to the point sampe lupa kenalan,” kekeh siswi yang pertama kali menyapanya. “Gue Seli dan ini teman gue, Riri.”
“Salam kenal, kakak cantik. Gue Faira yang namanya lagi berdengung di sekolah SMA Nagaswara.”
Lagi, keduanya terbahak karena reaksi tak terduga Faira. Sikap percaya diri yang tidak menyebalkan. Mereka kemudian terlibat pembahasan seru yang membuat Nuga jengah sendiri karena kakak kelasnya kebanyakan menjerit tak jelas.
“Ra, sini piringnya,” interupsi Nuga meminta piring kotor bekas nasi goreng yang isinya sudah ludes disantap Faira. “Sekalian mau makan juga.”
“Loh? Belum makan? Kenapa nggak bilang?” Faira kira Nuga sudah makan, makanya sudah duduk anteng di dalam kelas. Tidak mungkin kan, Nuga menungguinya yang tertidur?
“Tadi masih kenyang, makanya main game dulu,” bohong Nuga. Aslinya dia kekeh’ menjaga Faira yang tertidur karena melihat Faira yang terkadang mengernyit tak nyaman dalam tidurnya. Mungkin mimpi buruk, fikir Nuga. Sementara Shasa dan Uci memilih menjauh karena tak kuasa menahan tangis tiap kali melihat wajah lelah Faira.
“Yaudah, lo makan aja. Piringnya biar gue yang balikin nanti.” Faira masih tahu diri untuk tidak merepotkan Nuga yang sudah sangat baik menjaganya, meski tak cowok itu akui terang–terangan. Jangan lupa, Faira itu kelewat peka terhadap orang lain.
“Nggak papa. Sekalian mau ke sana kok.” Nuga bergerak meraih piring kotor tersebut dari tangan Faira lalu melenggang keluar tanpa kata.
“Siapa?” tanya Riri menyikut Faira yang masih terdiam memandang kepergian Nuga.
“Ah? itu Nuga. Teman sebangku gue.”
“Kalian deket?” cecar Seli mencondongkan tubuhnya kian dekat ke arah Faira.
“Lumayan. Dia orang paling dekat di sekitar gue untuk direcokin,” tutur Faira terkikik geli.
“Akh, gue udah mikir Danu bertepuk sebelah tangan pas liat lo sama Nuga.”
“Danu jangan dicampakkan dong. Keliatan banget tuh anak suka sama elo. Anak–anak cowok malah udah diwanti–wanti sama dia biar nggak deketin elo,”
“Bener, Danu kayaknya bucin banget ke elo, deh Ra.”
Faira hanya bisa meringis menimpali kakak kelasnya yang kelihatan sekali tengah membujuknya membalas perasaan Danu. Bahkan saat satu per satu teman sekelasnya memasuki kelas, kedua seniornya itu masih sibuk berkotek membahas Danu. Danu inilah, Danu itulah...semuanya hanya seputar hal baik. Seolah Danu sesempurna itu untuk menjadi pasangannya.
Hingga setengah jam lamanya menanggapi kakak kelasnya dengan sopan santun tak terkira, Faira bisa bernafas lega ketika keduanya melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu. Namun hanya beberapa detik, sosok lain masuk ke dalam kelasnya dan menghampirinya. Layaknya teror, karena ketika yang satu keluar akan ada lagi yang masuk untuk membahas hal yang sama. Danu, Danu dan Danu.
Sebenarnya seberapa banyak orang yang Danu sewa untuk meyakinkannya? Sumpah! Ini melelahkan meski tak Faira tunjukkan dalam riak wajahnya. Bibirnya tetap mengulas senyum serta tutur katanya tetap seperti Faira si cerewet. Mendadak Faira kesal pada siapapun yang sudah mendidiknya dengan sopan santun tak terbatas!
“Astaga Fairaku, yang malang. Lo sepopuler itu sampe dikunjungi hampir satu sekolahan?”
Dunia damaiku, where are you?!
Konawe Selatan, 29 Agustus 2022
Irma
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Novela JuvenilFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...