Bak kesetanan, Faira memacu larinya kian cepat menuju toilet, tempat yang diberitahu melalui sambungan telepon sebelum Faira mematikan sepihak. Jam istirahat membuat koridor sepi dan memudahkan langkah Faira tanpa harus melewati drama tabrakan karena dirinya yang tergesa–gesa.
Begitu netranya melihat pintu masuk toilet, Faira langsung membukanya dengan kekuatan penuh hingga terdengar dentuman keras yang menggema di dalam ruang toilet. Namun Faira tidak peduli akan keributan yang ia ciptakan, matanya jelalatan menyusuri tiap sudut untuk mencari sosok yang membuatnya berlari tanpa pikir panjang menembus luasnya lapangan basket.
“Uci!” Faira bergegas mendekati kedua sahabatnya yang saling memeluk dalam tangis. Nafas tersenggal–senggal menjadi pengiring tangis keduanya kala atensinya mendekat dan bersimpuh di tengah keduanya.
“Hei, nggak apa–apa. Semua baik–baik saja,” ucap Faira menenangkan dalam rengkuhannya pada tubuh kedua sahabatnya. Adegan itu tak luput dari pandangan Nuga serta beberapa teman sekelas lainnya yang ikut menyusul di belakang Faira tadi.
Kedua tangan Faira sibuk mengelus pelan kepala kedua sahabatnya yang kini bertumpu di bahu kiri–kanannya. Berbagai kata penenang Faira rapalkan tanpa henti. Semuanya akan baik–baik saja, dan baik Uci maupun Shasa percaya pada Faira. Semuanya akan baik–naik saja jika Faira sudah bilang begitu. Faira bukan sekedar sahabat bagi Uci pun Shasa, Faira terkadang menjelma sebagai Bunda di kehidupan keduanya, menggantikan peran orang tua jika berada di luar rumah.
Perlahan isak tangis keduanya mulai reda, menyisakan jejak air mata serta mata sembab juga hidung memerah khas orang habis menangis.
Nuga bergerak mendekat ke sisi Faira, mengulurkan dua botol air mineral yang masih sempat ia genggam dan tanpa sadar ia bawa lari mengikuti Faira. Shasa dan Uci pun menerima guna membasahi tenggorokan yang mengering pasca menangis. Bantuan sederhana Nuga cukup membantu menenangkan mereka.
“Ada apa?” tanya Faira lembut sembari menggenggam lemah tangan Uci yang terasa dingin di tangannya.
Uci menggeleng pelan. Tak kuasa bersuara karena air matanya selalu mendahului. Shasa yang sudah merasa lebih baik kemudian membuka suara.
“Tadi setelah ganti baju, kita berpapasan dengan senior cowok di depan toilet. Di–dia....” Shasa tampak ragu meneruskan kalimatnya. Mengingat hal yang baru saja sahabatnya alami membuatnya sama syoknya dengan Uci.
“Senior itu ngapain?” desak Faira menatap Uci dan Shasa bergantian.
“D–dia lecehin, Uci...” jawab Shasa kembali tergugu dalam isak tangis pun Uci yang mengalami pelecehan itu secara langsung.
“Hiks...dia remas pantat gue, Ra...” lirih Uci berderai air mata. Suara lemahnya mengundang Faira mengulurkan tangan kembali meraih sang sahabat dalam dekapan hangat yang kata keduanya sehangat pelukan Ibu.
“Lo tahu, siapa orangnya?” tanya Nuga hati–hati.
Uci merespon dengan gelengan. Mungkin tidak mau mengingat wajah orang yang sudah melecehkannya. Nuga dan Faira memilih diam, tidak ingin menanyakan lebih lanjut.
“Gue antar pulang aja. Biar lo bisa istirahat di rumah.” Faira membantu Uci untuk berdiri. Namun Uci menolak untuk pulang ke rumahnya.
“Jam pulang masih lama, gue takut Mama liat kondisi gue yang sekarang.”
Faira mengangguk setuju mendengar alasan Uci. “Pulang ke tempat gue aja, kalo gitu.” Faira menoleh ke arah Shasa yang sudah jauh lebih tenang. “Sha, lo tetap stay di sekolah ya, entar pulangnya lo ke apartemen gue.”
Setelah mendapat anggukan dari Shasa, Faira beralih melirik Nuga. “Ga, minta tolong ajak Shasa makan di kantin abis ini, tolong antar ke apartemen gue juga pulang nanti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...