WWW.Me | t i g a

140 10 0
                                    

Mendadak populer menjadi beban tersendiri bagi Faira. Bukan dikenal karena prestasi, melainkan sensasi. Meski bukan Faira yang menginginkan, namun orang–orang mulai menganggapnya demikian. Teman seangkatan hingga kakak kelas kini bolak–balik memasuki kelasnya, sekedar datang menyapa atau pura–pura mengobrol dengan siswa lain sambil meliriknya. Mungkin penasaran bagaimana sosok gadis yang berhasil menarik perhatian salah satu siswa tampan di SMA Nagaswara.

Jujur Faira merasa risih karena setiap gerak–geriknya seperti diawasi, tubuh mungilnya serasa mendadak paling menonjol di antara kerumunan siswa lain yang hilir–mudik di koridor. Dia yang dulunya tenggelam dalam keramaian kini seolah mencuat kepermukaan.

“Jadi cantik nggak enak ternyata,” gumam Faira sambil terus melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Faira hari ini memilih datang sendiri dan meninggalkan kedua pengikutnya yang dapat ia pastikan akan mengomel nantinya. Bodo amatlah, Faira tidak ingin menambah sensasi dengan kembali berteriak akibat ulah sahabatnya yang selalu berhasil memancing sisi premannya.

“Pagi,”

Langkah Faira terhenti di ambang pintu masuk kelas begitu disapa oleh teman sekelasnya yang sudah datang lebih dulu. Sambutan hangat di pagi hari. Faira balas menyapa mereka yang melambaikan tangan ke arahnya.

Setelah sedikit bercengkerama ringan dengan mereka yang duduk di bangku depan, Faira kembali melangkah ke bangkunya namun hanya beberapa langkah karena Faira kembali berhenti. Pandangannya menyapu setiap sudut kelas, memastikan tidak salah masuk ruangan, tapi mendapati suasana kelas dan orang–orang yang sama ia temui kemarin membuatnya menepis pikiran tersebut.

Lalu siapa yang duduk di bangkunya?

Faira kembali melangkah dengan pelan, mendekati bangkunya yang kini tengah diduduki oleh seorang cowok.

“Hai, lo...”

Siswa itu pun mendongak begitu mendengar suara seseorang di dekatnya. Lalu sepersekian sekon berikutnya beranjak berdiri yang membuat Faira terlonjak kaget. Faira semakin tenggelam saja rasanya berdiri di depan cowok ini, hanya sebatas dada.

Buseeet. Tinggi banget.

Cowok itu terkekeh pelan mendapati cewek di depannya malah mengerjap lucu. “Hai, gue Nuga.”

Faira menatap linglung tangan Nuga yang terulur di depannya lalu mendongak menatap wajah Nuga yang mengumbar senyum.

“Oh? Ah, gue Faira.” Faira balas menjabat tangan Nuga yang terasa dingin di tangannya.

“Salam kenal,” Nuga kembali melempar senyum yang hanya di balas anggukan oleh Faira.

“Lo duduk di sini?”

“Iya.” Nuga mengangguk. “Lo?”

Faira menggaruk pelipis yang tidak gatal seraya tersenyum canggung ke arah Nuga. “Lo...duduk di bangku gue, heheh...”

“Ha?”

Faira kian tersenyum kikuk melihat Nuga yang linglung menatap bangku lalu menatapnya dari bawah ke atas. Faira yang sadar akan arti tatapan Nuga pun kembali menyahut. “Kemarin telat masuk, jadinya hanya dapat kursi paling belakang doang.”

Nuga kembali mengangguk lalu bergegas mengambil tas juga bukunya di atas meja, namun segera Faira cegat.

“Duduk di situ aja, gue sendiri kok. Lagian sisa bangku ini doang yang nggak ada orangnya,” ujar Faira sebelum mendaratkan bokongnya di kursi samping jendela. Angin pagi pun menerobos masuk begitu jendela Faira buka.

“Akh, segarnya...”

Nuga yang sudah duduk di samping Faira, mengulas senyum melihat cewek itu tampak sangat bahagia hanya karena hembusan angin pagi.

“Lo nggak masalah duduk di belakang?” tanya Nuga membuat Faira menoleh ke arahnya.

“Sedikit, sih. Gue nggak bisa liat papan tulis dengan jelas.” Faira memanyunkan bibir teringat posisi duduknya yang tidak menguntungkan.

“Minta tukeran aja sama yang di depan,” usul Nuga yang dibalas gelengan oleh Faira.

“Mereka juga pasti udah targetin kursi depan sejak awal, makanya di sini kosong. Yaudah, sih, nggak masalah gue mah.” Faira mendekat ke arah Nuga sambil berbisik. “Spot nya bagus dipake tidur pas pelajaran fisika.”

Nuga tertawa geli mendengar alasan Faira. “Muka lo, padahal keliatan pinter gitu,”

Dan dengan percaya dirinya, Faira mengiyakan dengan semangat. “Gue emang pinter, ya. Hanya kadang–kadang gue suka males mikirin rumus fisika yang udah kayak komedi putar. Menurut gue, fisika itu bikin masalah yang nggak ada menjadi ada.”

“Gimana?”

Faira sepenuhnya duduk menyamping menghadap Nuga, menyamankan posisinya kemudian lanjut bercerita dengan menggebu–gebu.

“Lo pernah disuruh menghitung gaya yang terjadi pada buah kelapa yang jatuh dari pohonnya? Atau menghitung laju cahaya?” tanya Faira dibalas anggukan oleh Nuga, tidak berniat menyela karena ekspresi Faira yang kelewat serius. “Kurang kerjaan banget nggak, sih? kelapa kalo jatoh ya jatoh aja. Nggak ada gaya–gayaan. Kalo tanah di bawahnya jurang, ya gayanya paling menggelinding. Kalo tanahnya lempeng–lempeng aja ya udah, suara gedebuk doang yang ada. Lagi nih....”

Nuga tak lagi fokus mendengar apa yang Faira katakan, netranya terpaku pada bagaimana ekspresi Faira ketika berbicara. Dari pandangan Nuga, Faira tipe orang yang pintar berbicara. Hal yang awalnya biasa saja akan terdengar luar biasa begitu keluar dari mulut Faira karena wajahnya juga ikut mengatakan banyak hal. Nuga larut dalam pesona Faira yang menyenangkan.

“Ya gitu, deh. Serba ribet pokoknya.” Faira bergerak mengambil botol mineral dari dalam tasnya. Tenggorokannya terasa kering karena terlalu banyak bicara. Dan semua itu tak luput dari perhatian Nuga.

Kelas semakin riuh seiring penghuni kelas yang berdatangan. Namun baik Nuga maupun Faira larut dalam obrolan panjang dengan pembahasan random. Bukan kepada orang asing, keduanya lebih terlihat seperti teman lama yang baru bertemu setelah sekian tahun, membahas banyak hal seolah tak ada lagi waktu esok.

Shasa dan Uci baru saja memasuki kelas, hendak berteriak marah pada Faira yang meninggalkan mereka tanpa kabar. Menunggu ketidak pastian itu menyebalkan, dan menunggu Faira yang ternyata sudah duduk manis dan sedang haha–hihi bersama cowok ganteng membuat kepala Shasa mengepulkan asap pertanda marah tingkat dewa.

Wait? Cowok ganteng?

Shasa masih mematung memperhatikan cowok yang duduk bersebelahan dengan Faira. Otaknya bergelut memikirkan cowok dari mana lagi yang mendekati sahabatnya kali ini, namun Uci yang tidak tahan melihat cowok ganteng sudah berlari lebih dulu menghampiri Faira dan si ganteng.

“Wihh, ada cowok ganteng!”

Faira mendelik tajam mendapati Uci berdiri di depan mejanya sambil melirik Nuga penuh kekaguman. Benar–benar memalukan. Botol air minum yang tadinya Faira letakkan di sisi meja kini mendarat di lantai setelah mengenai kepala Uci.

“Apa sih? Kasar banget, deh!” seru Uci tak terima. “Jaga image dong. Masa’ gue ditimpuk botol.”

“Masih peduli image, lo? Mulut lo ileran tuh, cowok mulu yang diurus.”

Uci merenggut sebal ke arah Faira, merusak citranya di depan gebetan? Ingin Uci sumbangkan saja rasanya Faira ke tukang rongsokan. “Lo tuh yang maruk. Sudah kak Danu dipelet, sekarang si ganteng juga diembat. Kasih ke gue sama Shasa juga kali.”

“Jangan jual nama gue, ya!” teriak Shasa dari depan sambil menepuk kuat bahu Uci yang hanya mampu meringis dianiya sahabat tiri.

Sementara Nuga hanya tersenyum simpul menikmati interaksi ketiga cewek yang mengelilinginya. Dalam benak, Nuga mulai menebak hari–harinya akan terasa lebih rame karena ulah ketiga cewek ajaib di depannya.






Konawe Selatan, 21 Agustus 2022


Irma


Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang