WWW.Me | d u a p u l u h d e l a p a n

10 2 0
                                    

“Lo...takut sungai?”

Faira menatap lamat Nuga yang mulai tenang dan sudah bisa menatap fokus padanya. Anggukan samar yang Nuga berikan kemudian membuat Faira diterjang rasa bersalah.

“Maaf. Gue nggak tahu,” sesal Faira.

Reaksi yang Nuga tunjukkan, menyiratkan seberapa besar luka yang membekas diingatan cowok itu, hingga Faira yang tidak tahu cerita lengkapnya pun ikut terseret dalam rasa takut. Nuga pasti pernah mengalami peristiwa buruk yang bersangkutan dengan sungai atau air hingga menyisakan trauma mendalam.

Faira melirik ke belakang Nuga. Sungai mungkin sudah tidak terlihat namun suara gemericik airnya masih terdengar jelas.

“Lo bawa hape, kan?” tanya Faira yang hanya mendapat anggukan pelan oleh Nuga.

Faira bergerak memasang headphone pada kedua telinga Nuga setelah menyetel musik dari ponsel yang cowok itu ulurkan, membungkam suara aliran sungai dengan musik bervolume keras.

“Terima kasih...” ucap Nuga tanpa suara. Netranya hanya menatap Faira, gadis yang tengah mencoba membantunya melawan gejolak trauma yang menyerang.

Keduanya menghabiskan waktu dalam diam. Tidak lagi peduli pada acara barbekyu yang tadinya membuat mereka antusias untuk menikmati sensasi menyantap olahan daging panggang di kelilingi barisan pohon pinus.

Otak Faira mendadak kosong. Tubuhnya ikut bersandar pada pohon pinus dan duduk berdampingan dengan Nuga. Terlihat sekali betapa Nuga begitu berusaha untuk mengembalikan kewarasannya.

Dan satu–satunya yang bisa Faira bantu hanyalah menemani cowok itu dengan tetap menggenggam tangannya. Menegaskan bahwa Nuga tidak sendiri. Ada Faira yang mendampinginya untuk melawan pusaran ketakutan.

.

.

.

“Nuga kenapa?” bisik Uci pada Shasa dengan mata mengawasi pergerakan Nuga yang tengah packing sebelum pulang.

“Nggak tahu. Faira juga nggak mau cerita.” Shasa juga ikut penasaran karena setelah menghilang di acara barbekyu, keduanya malah kembali dalam keadaan mode silent.

“Kalo dari mukanya, kayak orang lagi ada masalah gitu, deh.” Rina tampak menyentuh dagu, memasang mode pakar ekspresi.

“Sok tahu, lo!” sela Uci mendaratkan satu pukulan di kepala bagian belakang Rina.

Tak terima dipukul tanpa permisi, Rina balas melayangkan pukulan di bahu Uci karena tidak sampai jika harus memukul kepala gadis yang lebih tinggi darinya itu.

“Wih, lagi jambak–jambakan, nih? Drama pelakor, ya?”

Uci, Rina dan Shasa kompak menoleh pada Inggi yang sudah berdiri di samping mereka sambil mengunyah keripik ubi.

“Hm. Elo pelakornya,” ujar Uci tak santai sambil merebut plastik keripik Inggi.

Inggi hanya bisa mendengkus kesal karena keripiknya lepas dalam genggaman. Sementara Rina dan Uci yang sebelumnya main pukul–pukulan malah sudah duduk lesehan menikmati keripik hasil rampasan Uci.

“Taik, emang lo berdua!” umpat Inggi kesal.

Hening mendera beberapa saat. Fokus mereka terbagi pada kehebohan anak–anak menjelang meninggalkan lokasi perkemahan. Mereka tampak antusias mengambil gambar sebagai kenang–kenangan.

Lalu tak lama, perhatian keempat gadis itu teralihkan oleh sosok Sila dan Bianca yang datang sambil berlari ke arah mereka.

“Faira, mana?” tanya Sila dengan nafas ngos–ngosan.

Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang