Setelah berkutat di dapur dengan beraneka ragam bentuk celotehan Rina dan Faira, menu makan siang akhirnya siap tersaji. Dua tim berjumlah enam belas orang kini berada di depan tenda tim Faira.
Mereka larut dalam cita rasa khas rumahan yang seperti kata Shasa, maknyus menggoyang lidah. Faira pun banjir pujian akan kemampuan memasaknya, pujian yang hanya direspon tawa olehnya.
“Wah, Ra, emak gue iri pasti setelah cobain masakan elo,” ujar Hadi di sela–sela suapannya.
“Kenapa?” heran Faira.
“Emak gue nggak bisa masak soalnya,” kekeh Hadi
“Dasar. Emak sendiri digibahin,” cibir Uci.
Faira hanya geleng–geleng menyaksikan mereka makan dengan lahap diselingi tawa juga ejekan. Faira sendiri tidak ikut bergabung dengan mereka. Dia tengah sibuk mengemas lauk pauk ke dalam wadah.
“Itu untuk siapa?” tanya Shasa memperhatikan Faira yang telaten mengurusi bekal sejak tadi.
“Untuk kak Danu,” jawab Faira sambil tersenyum singkat. “Gue belum ketemu dia sejak turun dari bus, abis ini mau gue susulin ke tendanya, sekalian makan siang bareng.”
“Yang jomblo mana paham rasanya bekalin pacar,” ujar Inggi merespon Faira.
“So sweet. Yang punya pacar mah beda ya,” timpal Rina.
“Dianya aja nggak nyariin elo tuh,” kesal Uci.
Di mata Uci dan Shasa, Danu itu adalah spesies menyebalkan. Yang hanya datang saat ada perlu, lalu menghilang tersapu angin setelahnya. Faira saja yang bodoh, karena tetap menjalankan peran sebagai pacar yang baik di tengah sikap acuh tak acuh dari Danu.
“Sirik aja lo, mblo!” sergah Fio meraup wajah Uci karena duduk bersisian.
“Gue nggak sirik ya!” teriak Uci pada Fio.
“Iya, iya. Nggak sirik, iri doang.” Rehan melarat kalimat Uci lalu menyemburkan tawa setelahnya. Pun yang lain, ikut menertawakan tingkah kesal Uci.
“Awas ya lo. Sampai elo jatuh cinta sama gue, gue tolak mentah–mentah biar lo tahu rasa!” kesal Uci berkali–kali lipat.
Baik Uci mau pun Rehan memang lebih sering terlibat adu mulut kalau sudah ketemu. Keduanya terlalu senang melempar ejekan satu sama lain.
“Ogah. Mana mau gue punya pacar ceriwis kayak elo. Bisa budeg di usia dini gue!” bantah Rehan mendengar rutukan Uci.
“Jodoh mana ada yang tahu,” timpal Yudi jengah mendengar sepasang manusia yang ributnya minta ditenggelamkan di rawa–rawa.
“Usstt...udahan debatnya. Lanjutin makan gih,” sergah Faira geleng–geleng kepala, sebelum bergegas meninggalkan keributan di depan tendanya.
Faira bergerak menyusuri area perkemahan, mencari posisi tenda yang Danu tempati.
Sementara Wina yang sejak tadi terdiam melihat reaksi teman–temannya pada Faira hanya bisa menelan ludah. Dia kesal setengah mampus pada Faira, namun menu yang Faira suguhkan sungguh menghancurkan benteng pertahanannya. Perutnya keroncongan lalu aroma masakan Faira berhasil menggelitik cacing di perutnya hingga berdisko di dalam sana.
“Bengong aja. Nggak makan, Win?” tanya Rina melihat Wina sedari tadi hanya menatap diam makanan di depannya.
“Oh? Ini baru mau ambil.” Wina segera meraih piring lalu mengambil menu yang sedari tadi menarik perhatiannya. Suapan pertama yang menyentuh lidahnya membuatnya merutuki diri sendiri.
Dia tidak menyukai Faira, namun jatuh cinta pada cita rasa masakan yang gadis itu buat. Wina tidak pernah membayangkan bahwa dia akan ada di posisinya saat ini. Menikmati makanan yang disuguhkan oleh dia yang dianggap rival.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Novela JuvenilFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...