“Ra,”“Faira,”
Faira mengerjap pelan kala namanya disebut pelan berulang kali. Pemandangan bus yang sepi menjadi hal pertama tertangkap netranya. Faira termenung untuk sesaat, mengembalikan sisa–sisa nyawa yang masih terjebak di alam bawah sadarnya. Namun begitu menyadari posisinya yang kelewat nyaman, Faira tersentak kaget.
“Eh? Lo?” linglung Faira mendapati dirinya bersandar di bahu Nuga. “Ah, gue ketiduran, ya?”
Faira meregangkan tubuh seadanya di ruang yang terbatas. Pandangannya kembali berpusat pada Nuga yang masih duduk anteng menungguinya.
“Yang lain pada kemana?"
“Di lokasi kemah.” Nuga menyahut santai. Menikmati wajah linglung Faira yang sepertinya belum sepenuhnya pulih dari tidur lelapnya.
“Loh? Udah nyampe? Sejak kapan?” tanya Faira kaget.
Nuga menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Satu setengah jam yang lalu kira–kira.”
"What?!” Faira memekik dengan mata melotot. “Astaga! Lo kenapa nggak bangunin gue?”
Faira segera bergerak rusuh mencari tas juga ponsel yang entah sudah tergelak di mana. Setelah menemukan barang–barang yang dicari, Faira bergerak keluar namun terhalang oleh Nuga yang masih duduk di posisinya.
“Lo nggak mau keluar?”
“Mau,"
“Terus nunggu apa lagi? Buru, ih!” Faira mendorong bahu cowok itu agar cepat berdiri atau sekedar memberinya jalan kalau memang dianya masih betah di bus.
“Lo udah sepenuhnya sadar?" tanya Nuga membuat Faira mengangkat alis.
“Maksudnya?”
Nuga menghembuskan nafas pelan. “Maksud gue, lo udah sadar? Nggak linglung lagi? Takutnya entar lo kesandung pas jalan.”
“Oh, udah kok, udah. Ayo ih!” Faira kembali memberi kode kepada Nuga agar segera beranjak dari duduknya dan menghampiri teman–teman yang lain.
“Tadi, lo tidurnya lelap banget. Gue nggak enak banguninnya,” ucap Nuga disela–sela langkah mereka menuju perkemahan.
“Ah, maaf. Lo pasti pegel gue senderin. Harusnya suruh Uci atau Shasa yang bangunin,” ringis Faira tidak enak.
“Nggak papa. Mereka juga nggak tega,” jelas Nuga. “Oh iya, tadi sebelum sampai ada pengumuman anggota tim. Lo sekelompok sama gue, Shasa, Uci, Fio, Diki, Rehan dan Malvin.”
“Bagus deh. Nggak harus pendekatan dengan teman baru lagi,”
Faira segera bergabung dengan teman satu timnya saat sampai di lokasi perkemahan. Puluhan tenda warna–warni tampak memenuhi pekarangan. Sungguh pemandangan menyegarkan mata.
“Sorry, gue jadi nggak ikut bikin tenda,” sesal Faira karena tidak bisa ikut membantu.
“Nggak masalah, beb. Kita juga cuma nonton mereka doang kok,” hibur Fio sambil menunjuk ketiga cowok yang berada tim yang sama dengan mereka.
“Udah dibikinin tenda, banyak protesnya pula,” sanggah Malvin karena cewek–cewek di timnya terlalu cerewet dan banyak maunya.
“Abis lo bikinnya asal–asal, Vin. Kentara banget nggak ikhlasnya,” sinis Uci menimpali Malvin.
“Lagian, kalo ada Faira, kalian nggak bakal kita suruh. Orang dia bikinnya lebih cepat, rapi lagi.” Shasa ikut menyanggah argumen Malvin.
“Makanya, kenapa nggak ada yang bangunin coba? Gue kan kaget, bangun–bangun udah nggak ada orang di bus.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...