WWW.Me | d e l a p a n

26 1 0
                                    

Seminggu berlalu sejak Faira dan Danu resmi berpacaran. Nama Faira cukup dikenal hingga kalangan kakak kelas, beberapa di antaranya menyapanya saat bertemu di koridor atau di kantin sekolah. Faira merasa jauh lebih baik kala isu tentangnya dan Danu tak lagi berdengung panas seperti sebelumnya.

Para ghibahers kini disibukkan dengan para kandidat ketua dan wakil ketua osis yang akan ikut berpartisipasi dalam pemilihan dalam waktu dekat ini. Dan tak diduga, Danu juga ikut mencalonkan diri sebagai wakil ketua osis bergandengan dengan Tito yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua osis di tahun ajaran sebelumnya. Tito dan Danu digadang–gadang akan menjadi kandidat terkuat untuk menang. Meski begitu, mereka tetap melakukan kampanye untuk menyampaikan visi dan misi yang telah dirancang oleh tiap pasangan.

Faira sebagai pacar yang baik pun tak ayal ikut terlibat dalam aksi kampanye tersebut. Danu meminta bantuannya untuk menghandle anak kelas sepuluh di saat Danu sibuk menggaet teman seangkatan hingga senior. Faira hanya mengiyakan karena dia hampir mengenal semua teman seangkatannya, beberapa di antaranya bahkan cukup dekat dengannya.

“Promoin pacar, lo?” tanya Shasa saat melirik ke arah layar ponsel Faira dimana gadis itu tampak sibuk mengupload foto juga rangkain kalimat pendukung.

“Jangan lupa dukung pasangan Tito dan Danu di pemilihan osis minggu depan ya, berpengalaman juga dapat dipercaya. SMA Nagaswa—”

“Baca dalam hati, bisa?” delik Faira memotong ucapan Uci yang mencuri pandang ke arah ponselnya dan membaca isinya dengan suara nyaring tepat di samping telinganya.

“Cih, alay lo! Katanya nggak cinta, kok bucin?”

“Bukan bucin, Uci. Ini namanya dukungan. Kalo pun hati nggak bisa gue kasih, setidaknya gue mencoba berperan sebagai pacar yang baik. Salah satunya dengan mendukung dia di ajang pemilihan osis nanti,” ralat Faira.

Karep lah, Neng.”

Uci memilih diam mendengar Faira yang tak terbantahkan. Menyantap gorengan jauh lebih menyenangkan ketimbang meladeni Faira yang akhir–akhir ini sibuk berperan sebagai pacar yang baik, rangkap tim sukses bagi Danu. Meski dalam hati, Uci mendadak kesal pada Danu yang terkesan memanfaatkan lingkaran pertemanan Faira juga membebaninya dengan target suara yang harus Faira kumpulkan.

“Lo nggak ngerasa dimanfaatin?” tanya Nuga tanpa harus repot–repot menatap Faira yang sibuk dengan ponselnya.

“Gue peka lagi,” sanggah Faira cepat.

“Terus, kenapa mau dibodohi?”

Faira meletakkan ponselnya begitu kata tidak sedap menggelitik rungunya, meski nyatanya benar adanya namun Faira tidak terbiasa mendengar kalimat langsung seperti yang selalu Nuga lakukan kepadanya. Shasa dan Uci lebih banyak diam jika melihat tingkah sok bodoh Faira selama ini. “Gue nggak pernah kepikiran kalo gue bakal ketemu soulmate gue di SMA ini. Thanks karena udah mau peduli sama gue yang penuh masalah, Ga.”

“Bukan itu yang mau gue dengar.” Nuga menatap datar Faira yang selalu saja memasang wajah santai meski bahan pembicaraan berat. Mungkin begitu cara dia bersikap seolah tak ada beban di hatinya di tengah banyak orang. Namun bagi Nuga, Faira dan segala kepura–puraannya terlihat menyedihkan hingga mengusik ketenangan batinnya.

“Harus banget ya, gue jelasin?” ringis Faira di bawah tatapan menuntut dari Nuga, sedang Shasa dan Uci bersikap bodoh amat dengan ponsel masing–masing namun tetap menajamkan indra pendengar. “Seperti yang gue bilang sejak awal, gue ahlinya bermain peran. Gue memang nggak cinta sama kak Danu tapi gue bisa jadi pacar yang baik buat dia. Setidaknya gue masih punya rasa kemanusiaan buat nggak nyakitin dia,”

“Tapi dia nyakitin, elo,” lirih Uci cepat yang masih bisa di dengar Faira, Nuga juga Shasa.

Ya, awal–awal Faira dan Danu resmi berpacaran memang menjadi pemandangan yang membuat orang iri melihatnya. Namun hanya dalam satu minggu, Danu mulai cuek dan hanya menghubungi di saat–saat penting saja. Menanyakan perkembangan kampanye Faira di kelas sepuluh misalnya.

Faira tidak bodoh. Dia tahu Danu hanya menganggapnya sebagai suatu pencapaian dan sekarang cowok itu tengah memanfaatkan dirinya. Namun Faira dengan konyolnya bersikap apatis, hal yang membuat Uci dan Shasa kompak ingin menendang otak sahabatnya itu hingga ke Antartika.

Its okay. Tugas gue hanya sekedar menjaga perasaan dia doang. Selebihnya, itu urusan dia. Jangan lupa, karma itu nyata. Entah dibayar tunai atau kredit.”

Kata konyol Faira kali ini tak berhasil menciptakan tawa. Hati mereka terlalu lelah menelaah sikap keras kepala Faira. Ponsel yang tadinya menjadi alibi kesibukan Shasa kini teronggok di tengah meja. Matanya menatap langit–langit kelas namun otaknya menerawang jauh ke depan. “ Kalo reinkarnasi beneran ada, gue harap di kehidupan berikutnya lo terlahir sebagai orang jahat. Gue bosan dengan orang baik.”

Anehnya, kalimat melantur itu justru disetujui Nuga dan Uci, pun Faira diam–diam mengamini. Sebab orang jahat tak selamanya murni memiliki hati yang jahat, mereka jahat karena sebuah situasi dan jika itu untuk kepentingan dirinya sendiri, mereka tidak masalah Faira menjadi jahat di kehidupan berikutnya. Pun Faira, jika bisa memilih ia ingin sekali terlahir dengan hati yang beku, yang tidak peka pada situasi sekitar juga tidak peduli jika tindakannya menimbulkan luka bagi orang lain.

“Tapi kalo gue jahat, gue nggak bisa berteman sama kalian dong?”

“Bisa. Mari terlahir sebagai orang jahat bersama.” Nuga berucap final sebelum bergegas meninggalkan ketiga cewek yang menatapnya cengo.

.

.

.

Faira dan headphone warna ungu menjadi satu–kesatuan tak terpisahkan bagi mereka yang memperhatikan setiap gerak–gerik Faira. Seperti saat ini, Faira mengenakan headphone nya sambil bersender di mobil merah yang selalu menemaninya kemana pun ia pergi. Pandangannya menyapu sekitaran sekolah yang mulai sepi lantaran jam pulang sudah berdenting sejam yang lalu, sementara Faira masih stand by di parkiran menunggu Danu selesai dari segala urusan persiapan pemilihan yang kian dekat diselenggarakan.

Faira yang sibuk dengan senandungnya tak menyadari kedatangan seorang siswi yang mendekatinya, hingga terlonjak kaget saat merasa bahunya ditepuk pelan oleh seseorang.

“Kaget, ya?” siswi di depan Faira tersenyum simpul sambil ikut menyenderkan tubuhnya di badan mobil Faira.

“Dikit.” Faira mematikan musik di ponselnya sebelum melepas headphone agar lebih leluasa mendengar alasan seniornya mendatanginya di kesunyian. “Ada apa kak?”

Thanks, karena nggak bilang apa–apa mengenai apa yang elo lihat waktu itu,”

“Ck, gue kan udah bilang. Gue sibuk, nggak sempat buat ghibahin elo.” Faira menatap santai seniornya yang tampak murung di sampingnya. “Setiap orang punya alasan di balik tindakannya. Gue nggak berani judge orang disaat diri gue sendiri nggak beres.”

“Gue nggak tahu, lo terlalu baik atau terlalu naif menilai orang lain,” ada nada lega yang dapat Faira dengar dari seniornya namun mata sendunya menyoroti Faira dengan iba. “Terima kasih karena tetap diam setelah apa yang lo lihat dan maaf karena harus buat lo bertindak pura–pura nggak tahu.”

Its okay. Itu keahlian gue,”

Keduanya lalu terdiam. Menikmati hembusan angin yang tak lagi segar sebab terkontaminasi dengan polusi kendaraan Ibu kota. Diamnya mereka membawa angan berkelana. Apa yang terlihat dari luar belum tentu mencerminkan isi dalamnya. Layaknya Faira yang mulai berfkir, senior cantik bak dewi nan mata sendu penuh kepolosan hanyalah sampul untuk menutupi segala kekurangan tak bermoral. Meski tahu demikian, Faira tidak berani jika harus mengomentari tindakan sang senior.

“Kak, kalo masih bisa berhenti, coba sudahi semuanya. Sebelum hidup lo rusak lebih dari yang seharusnya.” Faira lalu termangu setelah menyelesaikan kalimatnya. Entah kenapa, kalimat itu sangat pas untuk dirinya.

Apa bisa disudahi sampai di sini, Ulfaira Fatin?

Konawe Selatan, 29 Agustus 2022

Irma




Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang