Faira terduduk kaku di atas sofa. Bak sedang menjalankan sebuah persidangan dimana dirinya terduduk sebagai pihak terdakwa.
“Lo dari mana?” tanya Nuga membuka obrolan, sebab kedua cewek yang duduk berdampingan di sofa panjang lebih memilih menyerang Faira melalui tatapan.
“Pulang,” jawab Faira seadanya. “Kalian bolos sekolah?”
Faira ikut bertanya karena waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, ini bukan hari minggu dimana mereka bisa duduk anteng tanpa beban di ruang tamu apartemennya.
Awalnya Faira kaget begitu membuka pintu apartemennya, ketiga sahabatnya sudah lebih dulu berada di dalam sana. Shasa dan Uci memang mengetahui sandi apartemennya karena sering mampir bahkan menginap di tempatnya.
Menilik dari bagaimana kedua sahabatnya menatap tanpa kata ke arahnya, Faira menebak jika mereka sudah tahu kemana saja Faira menghilang tiga hari ini dan apa yang ia lakukan.
“Membolos demi orang yang katanya sahabat tapi malah menghilang tanpa kabar,” sindir Shasa di tanggapi anggukan santai oleh Faira.
“Tanyakan yang mau ditanyakan, gue jawab tanpa rekayasa.”
Shasa dan Uci menghembuskan nafas kasar sebelum merebahkan diri di sofa dengan kepala Shasa menindih kepala Uci. Mereka lebih memilih mengistirahatkan jiwa dan raga setelah dibuat kalut beberapa hari terakhir ini oleh Faira. Mencari keberadaan juga kabarnya yang tak terjangkau. Mereka membiarkan Nuga mewakili ribuan tanya di benak sebab diantara mereka, mungkin hanya Nuga yang akan tetap waras setelah mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Faira.
“Muka lo kenapa?” Nuga kembali buka suara, menanyakan perihal wajah pucat Faira yang berhasil mengusik ketenagan kala memasuki apartemennya.
“Kurang darah,” jawab Faira seadanya.
“Donor lagi?” tanya Nuga dibalas anggukan pelan dari Faira.
Nuga menatap diam Faira yang menyenderkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata tertutup. Meski belum puas mencecar Faira untuk menghilangkan tanya, Nuga tidak lagi bisa mengajukan pertanyaan sederhana karena raut lelah yang Faira coba samarkan.
Tidak mendengar pertanyaan lagi, Faira membuka mata dan melirik Nuga yang tengah menatapnya cemas.
“I’m fine. Tanyakan saja—”
“Istirahat.” Nuga memotong kalimat Faira. “Muka lo minta istirahat, tolong peka pada apa yang tubuh lo butuhkan bukan yang orang lain butuhkan.”
Faira dibungkam oleh Nuga yang selalu saja terus terang mengatakan apa yang ada di fikirannya. Sudah Faira bilang, dia tidak terbiasa menangani kalimat langsung Nuga pun muka datar saat mengatakannya. Mungkin ini sebabnya Shasa dan Uci selalu memilih diam saat ada Nuga, mereka tahu Faira si jago debat kerap berakhir kicep di depan Nuga.
“Gue nggak biasa menunda apa pun yang udah gue mulai. Lanjut nanya aja, setelah selesai baru gue istirahat.” Faira kekeh’ menyelesaikan pembahasan yang sudah ia mulai.
“Gue juga nggak terbiasa ngomong sama mayat hidup,” sarkas Nuga sebelum berdiri dan mengambil jaket yang ia sampirkan di sandaran sofa. “Gue pulang dulu. Jam makan siang gue ke sini lagi bawa makanan.”
“Gue bisa masak,” sanggah Faira cepat.
“Gue bilang istirahat. Bukan masak.” Nuga melirik Shasa dan Uci yang masih tampak kesal pada Faira. “Kalian tetap di sini. Pastikan dia benar–benar istirahat. Cepat telepon gue kalo ada apa–apa.”
Nuga bergegas meninggalkan apartemen Faira setelah mendapat anggukan dari Shasa dan Uci sementara dirinya mengacuhkan tatapan penuh protes dari Faira.
.
.
.
“Gue pulang ke apartemen setelah makan bareng Nuga malam itu, sudah ada sopir pribadi Ayah yang nunggu di depan pintu.” Faira menjelaskan apa adanya. Sama sekali tak berminat menutupi apa pun karena Faira butuh mereka sebagai penyalur agar batinnya tak tersiksa menanggung beban sendirian.
“Dan lo pergi gitu aja?” sinis Shasa
“Udah tugas gue, Sha,”
“No. Mereka kaya raya, punya uang banyak juga koneksi yang nggak sedikit. Kenapa harus menguras dari satu orang saja? Kondisi lo nggak mendukung, Faira, lo ngerti nggak sih?!”
Faira menatap intens Shasa yang kembali meledak di depannya. Sahabat konyol namun paling keras menanggapi sikap tidak adil keluarga angkatnya pada dirinya.
“Gue belum pernah bilang ya, alasan dibalik adopsi yang gue jalani?” tanya Faira diikuti senyum miris akan nasibnya yang tak semanis angan masa kecilnya. “Jihan punya kelainan hati sejak lahir, dia harus menerima donor darah secara rutin karena tubuhnya nggak bisa menghasilkan sendiri. Sialnya, golongan darahnya terbilang langka dan entah anugerah atau hukuman, gue punya apa yang mereka butuhkan. Dengan begitu, Faira kecil bahagia setelah Ibu panti bilang bakal punya orang tua, sosok yang sangat diimpikan. Hanya saja ekspektasi nggak pernah sejalan dengan realita.
Gue diadopsi, agar anak kandung mereka bisa mendapat donor disaat genting. Mereka memfasilitasi gue layaknya anak kandung, tapi tidak untuk kasih sayang. Hal yang paling gue butuhkan di usia gue saat itu. Untungnya saat mereka lepas tangan, gue ketemu kalian yang mau berteman dan berbagi kasih sayang orang tua dengan gue, dan sekarang Nuga juga ikut bergabung dalam dunia gue yang penuh drama. Terima kasih dan maaf, karena harus melibatkan lo pada hal menyebalkan untuk diketahui.”
Uci menangis mendengar cerita Faira. Bukan dirinya yang mengalami tapi kewarasannya hampir saja menghilang membayangkan kehidupan sebagai nyawa sambung untuk orang lain. Setelah bertahun–tahun hidup tanpa orang tua kandung, kini malah terjebak pada manusia berpredikat orang tua angkat namun dengan motif tertentu.
“Lo bisa menolak, Ra. Lo punya hak atas hidup lo, sendiri!” Shasa mencoba menyadarkan Faira, hidup Jihan bukanlah tanggung jawabnya.
“Gue nggak bisa untuk egois, guys. Ini bukan hanya tentang gue, tapi seluruh adik panti yang ditanggung keluarga Hutomo. Sudah gue bilang, hidup gue adalah tentang utang hidup banyak orang. Gue kehilangan hak atas diri gue sendiri sejak meninggalkan panti dan bergabung dengan keluarga Hutomo.” Faira menjelaskan serinci mungkin agar mereka bisa mengerti posisinya dan tak lagi mendesaknya untuk berhenti.
“Ibu panti lo tahu mengenai ini?” tanya Shasa memelankan suaranya, dan gelengan yang didapat oleh Faira kembali membuatnya mengusap kasar wajahnya.
Faira tidak ingin melibatkan banyak orang, terlebih jika itu Ibu panti yang sudah berbesar hati membesarkannya juga puluhan adik panti lainnya. Satu–satunya yang bisa Faira lakukan untuk membalas kebaikan hatinya hanya dengan tetap bersama keluarga Hutomo agar beban sang Ibu panti tak lagi menggunung mengingat biaya anak–anak yang tak sedikit.
Sementara itu Nuga tercenung, mengetahui fakta menyeluruh perihal asal usul empati tak manusiawi serta keras kepala tingkat dewa yang melekat kuat pada diri Faira. Dari sekian banyak bentuk masalah hidup, tak pernah terbayangkan dalam benaknya bahwa akan ada anak yatim piatu yang harus membayar segala kebutuhan hidupnya dengan nyawa meski itu adalah tanggung jawab orang yang sudah berniat menjadikannya seorang anak.
Dan yang lebih mengusiknya adalah, dokter gila dari mana yang tega serta melanggar kode etik profesi dengan menjadikan Faira sebagai pendonor tetap tanpa mengindahkan kondisi tubuh sang pendonor.
“Lo, biasa transfusi di rumah sakit mana?” tanya Nuga tak bisa membendung rasa penasaran. Sebab rumah sakit mana pun itu, pasti akan bermasalah jika hal seperti malpraktik ini beredar di publik.
“Di rumah Ayah. Ada dokter dan suster pribadi yang selalu stay di rumah untuk berjaga–jaga,” jawab Faira. “Kenapa memangnya?”
Nuga menggeleng, “Kalo itu rumah sakit, Papa bisa tolongin, elo. Papa gue dokter di salah satu rumah sakit, Jakarta.”
Tolong tinggalkan jejak berupa vote dan komentar
Konawe Selatan, 12 September 2022
Irma
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...