Nuga menatap lekat Faira yang baru saja mendaratkan bokongnya pada kursi yang sebelumnya diduduki oleh Lila. Gadis itu tampak mengatur nafas berkali–kali sebelum menoleh ke arahnya.
“Lo nggak apa–apa?” tanya Faira dibalas gelengan linglung oleh Nuga.
“Bagus deh.” Faira kembali menatap ke depan. Menyamankan posisi punggung pada sandaran kursi sambil berujar tanpa menoleh. “Lain kali kalo ketemu jin gila begitu, langsung ditendang aja. Nggak usah dihalusin.”
Alis Nuga terangkat refleks mendengar ucapan santai Faira. Gadis itu serius memberinya saran seperti itu atau sekedar membual?
“Astaga, dia benar–benar jin sialan.”
Faira memejamkan mata guna menetralisir kekesalan yang membuat ubun–ubunnya berdenyut. Gumam kekesalan pun tak henti–hentinya terdengar oleh Nuga.
Lila sepertinya berhasil membangkitkan mulut pedas Faira hari ini. Nuga bahkan mendadak lupa pada trauma yang sempat menghantam sisi warasnya, hanya dengan melihat Faira yang tampak tenang namun mulutnya komat–kamit mengutuk Lila dengan sumpah serapah.
“Nenek lampir,”
“Ulat bulu,”
“Parasit.”
“Taik kucing.”
“Monyet buluk.”
Siswi yang duduk di kursi seberang pun tampak berusaha menahan tawa kala kata–kata yang Faira tujukan untuk Lila, terdengar olehnya.
Nuga yang menyadari hal itu, memberi kode dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya agar gadis itu tidak mengganggu meditasi abal–abal yang sedang Faira lakoni.
Biarkan saja Faira berkata sesukanya, selama itu mampu mengimbangi kedongkolan yang mengusik hatinya.
Meski Nuga beberapa kali harus pura–pura batuk karena tawa yang mendesak menyembur.
“Faira tadi keren banget nggak, sih?” pekik tertahan seorang cewek yang duduk di barisan belakang kursi Faira dan Nuga.
“Bener banget. Gue sampai speechless liatnya,” timpal gadis lainnya.
“ ‘Senioritas elo, nggak berlaku di sini.’ ” seorang gadis mencoba meniru apa yang Faira katakan setelah mendepak Lila keluar dari bus yang mereka tumpangi. “itu kalimat favorit gue mulai sekarang!”
“Faira idola gue pokoknya!” sahut yang lainnya.
Nuga tersenyum tipis mendengar respon positif yang menguar kental di dalam bus. Uci dan Shasa pun demikian. Perlahan, Faira mulai memenangkan hati banyak orang dan memukul mundur segala pikiran negatif orang–orang tentangnya. Meski tak bisa dipungkiri, satu–dua orang akan tetap memandang jelek seorang Faira.
Wina contohnya. Dalam sudut pandangnya, Faira hanya gertak sambel saja. Mencari sensasi dengan memanfaatkan simpati banyak orang. Faira tipikal cewek berotak licik dalam benak Wina.
“Sahabat gue itu,” ucap Uci dengan bangga pada mereka yang sibuk memuji tindakan Faira pada Lila.
Sementara yang menjadi objek pembicaraan malah sudah tertidur dengan kepala terantuk–antuk.
Nuga meraih kepala Faira untuk ia sandarkan pada bahunya. Gadis keras kepala. Kalau memang mengantuk, harusnya tadi memilih tidur di dekat jendela saja. Kan, bahaya tertidur di pinggir begitu.
Shasa yang berniat melihat kondisi Faira pun malah disuguhkan dengan pemandangan dimana Faira tertidur bersandar di bahu Nuga, lalu Nuga pun mulai terlelap dengan kepala menindih kepala Faira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...