“Pulang bareng gue.”
Faira berbalik pada Nuga yang mencekal lengannya untuk mengajaknya pulang bersama.
“Aku ikut, kak,” ujar Jihan tersenyum manis pada Nuga.
Nuga menatap datar Jihan yang terang–terangan sedang mencoba mendekatinya.
Aku? Sok akrab sekali.
“Lo sakit, kan? Pulang sama Shasa dan Uci aja.” Nuga menimpali sambil meminta kunci mobil Faira kemudian menyerahkannya pada Shasa.
“Gue bawa motor,” sela Shasa yang memegang kunci mobil Faira dengan linglung.
“Motornya tinggalin di sekolah aja. Entar gue suruh orang buat ngantar ke rumah, elo.” Nuga membujuk Shasa dan Uci agar menyetujui permintaannya yang kemudian mendapat anggukan setuju keduanya.
“Kak Faira juga sakit,” cetus Jihan menyita perhatian.
Uci dan Shasa sudah menatap sinis pada Jihan yang tidak bisa diam. Sementara Nuga kian tidak suka pada sifat kekanakan Jihan.
“Makanya mau gue bawa untuk berobat.” Nuga pikir dirinya sudah menunjukkan penolakan yang jelas. Kalau Jihan tidak sadar, maka salahkan saja dia yang terlalu bodoh.
“Duluan,” pamit Nuga kembali menggenggam jemari Faira untuk ikut bersamanya. Faira yang sedari tadi diam mengawasi Jihan, berbalik melambaikan tangan pada kedua sahabatnya.
Shasa dan Uci memandang kepergian Faira dan Nuga dengan senyum penuh arti.
“Gue harap, Faira menemukan penawarnya,” gumam Shasa diaminkan Uci setulus hati.
“Yaudah, balik yok!” pekik Uci menggandeng tangan Shasa. Baru beberapa langkah, keduanya kompak menoleh ke belakang.
“Bocah, nggak mau pulang, lo?” tanya Uci sinis karena Jihan masih mematung menatap punggung Faira dan Nuga.
Jihan melirik tidak suka pada dua dayang menyebalkan Faira. Jihan menghentakkan kaki kuat di depan keduanya sebelum berlalu menuju parkiran.
“Sha, tuh bocah diturunin di TPU gak papa kali, yak!” jengkel Uci setengah mati pada Jihan.
.
.
.
Sementara itu, Faira menikmati perjalanan tenangnya bersama Nuga. Cowok itu benar–benar mengatur segala sesuatunya agar Faira tetap nyaman selama perjalanan.
Bantal yang entah milik Nuga atau hasil pinjaman itu kini tersusun rapi di belakang punggungnya untuk memastikan kondisi Faira baik–baik saja dan tidak merasakan sakit.
Kecepatan sedang nan pembicaraan santai memberi kesan layaknya liburan bagi Faira. Damai dan menyenangkan.
Namun setelah tersadar dari keasyikannya sendiri, dahi Faira mengernyit kala Nuga membelokkan mobil memasuki salah satu perumahan elit di kawasan Jakarta.
“Loh? Bukan ke rumah sakit?” tanya Faira mengamati beberapa rumah mewah yang mereka lalui.
“Bukan.” Faira sontak menatap Nuga penuh tanya yang dibalas kekehan pelan oleh cowok itu. “Kita ke rumah gue.”
Mata Faira melotot mendengar ujaran santai Nuga. Ke rumah Nuga? Astaga yang benar saja!
“Aduh, ngapain? Kita bukannya mau ambil obat, ya?” Faira kembali mengajukan tanya setelah mengatasi rasa gugup yang tiba–tiba menyelusup masuk di hatinya.
Udah kayak mau ketemu calon mertua, anjir!
“Hm. Obat yang diresepin dokter ada di rumah gue. Papa gue dokter, kalo lo lupa.” jelas Nuga mengedip genit ke arah Faira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Teen FictionFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...