WWW. Me| t i g a p u l u h t u j u h

23 3 0
                                    

Faira tersadar saat malam menanjak larut. Matanya bergerilya pada setiap sudut ruang yang tadi siang ia kunjungi.

Lagi. Faira mendapati Nuga dan keluarganya menjadi sosok yang ia temukan di titik terendahnya.

Dalam diamnya meratapi nasib yang selalu merepotkan banyak orang, rasa sakit menghujam sekujur tubuhnya.

Ah, ini sensasi yang sebelumnya tidak Faira rasakan.

“Eh, sudah bangun?”

Tatapan Faira teralihkan pada sosok wanita paruh baya di ambang pintu. Perlahan wanita itu mendekat.

“Bagaimana perasaanmu, cantik?” tanya Dina setelah mengambil duduk di samping Faira sembari mengulas senyum lembut.

“Baik, Tante,” ucap Faira berbohong. Sakit di kepala membuat pandangannya berputar, namun Faira tetap memaksakan senyum dan bergerak menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Ada rasa perih juga di sana.

Dina mengangguk pelan meski nalurinya sebagai seorang Ibu, tidak bisa dibohongi. Faira sedang menahan sakit. Dina tahu dari keringat kecil yang mulai menghiasi dahi Faira, juga matanya yang sesekali bergerak tak fokus.

Namun Dina mencoba pura-pura tidak tahu. Seperti kata Nuga sebelumnya, Faira tipe gadis yang tidak mau merepotkan dan pandai bermain peran. Itu sebabnya, Dina meniru sikap peka Nuga untuk bertindak tanpa kata.

Dina kemudian menyerahkan segelas teh hangat yang ia  siapkan untuk Faira saat masuk ke kamar itu. Pemberian yang Faira terima dengan senyuman juga anggukan sopan, membuat Dina kembali dibuat jatuh cinta dengan anak gadis di depannya ini.

Saat Faira meneguk teh hangat buatannya, Dina terus menatap sayang sembari tangannya bergerak mengusap keringat di dahi Faira.

“Nuga sudah cerita semuanya tentang kamu,” ucap Dina mengalihkan perhatian Faira padanya. “Tante nggak tahu, berapa banyak luka yang kamu pendam sendiri, Nak. Tapi kalau kamu mau cerita kepada orang yang lebih dewasa, Tante siap mendengarkan. Tante bisa menjadi Ibu di saat kamu butuh.”

Tubuh Faira melemas mendengar kasih sayang yang Dina tunjukkan padanya. Dia memang merindukan sosok yang kata orang hangat peluknya sehangat mentari dan senyumnya seindah langit sore.

“Terima kasih...dan maaf, Tante,” gumam Faira menggenggam sebelah tangan Dina. “Aku udah banyak merepotkan Tante dan Om hari ini. Nuga juga. Maaf karena aku dan sekelumit masalahku hadir di tengah-tengah keharmonisan kalian.”

“No.”  Dina menggeleng pelan, membantah kalimat Faira yang tidak benar adanya. “Kehadiran kamu bukan beban buat kami. Asal kamu tahu, Nak. Kehadiran kamu sangat berarti buat Nuga.”

“Nuga?” beo Faira tidak paham.

“Nuga nggak pernah cerita sama kamu tentang dirinya?” tanya Dina dibalas gelengan kuat oleh Faira.

Nuga lebih banyak mendengarkan kisah menyedihkannya ketimbang bercerita. Nuga lebih memilih diam jika dirasa tidak harus untuk mengeluarkan suara.

“Nuga bukan anak kandung kami,” aku Dina membuat Faira melotot kaget. Bukan anak kandung?

“Nuga anak adiknya Mas Bram. Orang tuanya meninggal karena tenggelam di laut saat mereka sedang liburan. Nuga waktu itu masih berusia delapan tahun, namun tragedi itu membekas diingatannya. Sejak saat itu, Nuga trauma setiap kali melihat sungai atau laut. Dia juga jadi lebih pendiam setelah kematian orang tuanya.”

Sementara Dina bercerita, Faira lebih banyak menyalahkan diri sendiri. Ada banyak hal yang dia lewatkan tentang Nuga, sosok yang justru tahu lebih banyak tentangnya lebih dari dirinya sendiri.

Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang